buah kawi dan teman-temanku

on Kamis, 24 Oktober 2013




RELASI NEGARA – MASYARAKAT PADA ERA TRANSISI DI INDONESIA (1998-2001) (Analisis Sosial Politik pada Pemerintahan B.J. Habibie dan Gus Dur)

Tanggal 21 Mei 1998 boleh jadi adalah hari paling bersejarah dalam jejak politik Indonesia kontemporer. Saat itu, Soeharto menyatakan berhenti sebagai presiden RI, setelah 32 tahun lebih menjadi orang nomor satu di negeri ini. Peristiwa dramatis itu diawali munculnya tekanan massa mahasiswa dalam gerakan reformasi berskala nasional. Pada saat yang sama dukungan dari banyak pihak termasuk di dalam lingkaran kekuasaannya sendiri menyusut terhadap legitimasi kekuasaan bapak Orde Baru tersebut.
Jatuhnya Soeharto adalah tonggak baru bagi sejarah Indonesia. Banyak pihak yang memaknainya sebagai titik awal era transisi Indonesia. Di era transisi ini, tumbuh harapan baru masyarakat tentang kehidupan yang lebih baik. Untuk mewujudkannya, sebagaimana dialami negara-negara di kawasan Amerika Latin, Eropa Timur, dan Asia-Indonesia harus dapat melewati proses transisi menuju demokrasi itu. Sebab, transisi menuju demokrasi, seperti dijelaskan O’Donnel dan Schmitter, selalu penuh ketidakpastian, sama sekali tidak linear dan rasional. Sehingga banyak sekali ketidakpastian soal kemampuan melewati masa ini.
Masa transisi adalah lahan subur sekaligus tantangan bagi para peminat studi politik Indonesia. Era ini adalah momen tepat untuk merumuskan teori perpolitikan Indonesia Mutakhir atau untuk menguji teori-teori sebelumnya. Salah satu topik mendasar transisi adalah tentang hubungan negara-masyarakat. Sebagai kekuatan besar yang menentukan capaian transisi ini, negara dan masyarakat adalah dua variable penting yang tidak dapat diabaikan.
Masyarakat adalah faktor yang penting. Demokratisasi acapkali adalah hasil penguatan dan dinamika masyarakat vis – a-vis negara. Begitu pula negara, sebagai lembaga dengan otoritas besar dan dapat menerapkan kekerasan atas masyarakat –seperti dikemukakan Max Weber – maka negara adalah faktor penting yang harus pula dicermati. Keduanya adalah variable bebas (independent variable) sekaligus parameter (dependent variable) keberhasilan transisi.
Disinilah letak pentingnya analisis tentang hubungan negara –masyarakat di era transisi. Dalam diskursus politik, kajian tentang hubungan negara-masyarakat memiliki kedudukan penting bagi kajian tentang transisi demokrasi. Menurut Alfred Stepan, studi tentang hubungan negara-masyarakat merupakan “one of the central concerns of the discripline of political science”. Topik ini adalah salah satu sub kajian dalam ilmu politik yang umurnya sudah amat tua. Ada yang bilang bahwa kajian hubungan negara – masyarakat adalah isu abadi dalam teori politik.
Dalam masalah ini, sedikit ada tiga pertanyaan perlu diajukan. Pertama, bagaimana dinamika dan posisi negara dan masyarakat di era transisi di Indonesia? Kedua, Bagaimana bentuk relasi negara dan masyarakat di masa ini. Dan ketiga, Bagaiman implikasi pola hubungan tersebut bagi prospek demokrasi terkonsolidasi di Indonesia? Untuk keperluan inilah makalah ini kami tulis.
Kerangka Teori
Beberapa kerangka teoretis bisa bermanfaat disini. Mulai dari teori negara, teori civil Society, teori relative deprivation dari Ted Robert Gurr, Teori stukturasi dari Anthony Giddens dan teori konspirasi. teori negara dan teori civil society perlu disajikan, karena unit analisis penulis adalah negara dan masyarakat. Teori relative deprivation akan penulis gunakan untuk menjelaskan mengapa terjadi gelombang resistensi masyarakat terhadap egara dan teori strukturalis dan teori konspirasi akan menjadi alternatif alat analisis.
1.    Negara
Ada banyak teori tentang negara yang beredar dalam kahasanah sosial dan politik. Namun tidak semuanya relevan untuk menjelaskan watak negara di era transisi Indonesia. Kondisi obyektif negara di era transisi Indonesia tidak dijelaskan hanya dengan merujuk pada salah satu teori negara saja. Ada bagian-bagian tertentu dalam kartakter ini yang bisa menunjukkan berlakunya salah satu teori. Tapi bagian-bagian lain dari dinamika relasi negara-masyarakat tidak terjelaskan oleh teori yang sama.
Namun kiranya kita bisa mencoba menggunakan secara eklektik dan komplementer dua teori negara yang menjadi acuan disini, yaitu teori negara pluralis dan teori Negara yang dikemukakan Eric A. Nordlinger. Teori ini relatif relevan untuk menjelaskan dinamika dan posisi negara pada era transisi Indonesia dan dua teori ini diambil konsep tertentu padanya yang relevan untuk keperluan analisis masalah ini.
Dalam teori negara pluralis terdapat dua postulat penting. Pertama, negara merupakan institusi yang tidak mandiri, kedua negara hanya merupakan alat yang netral dari kekuatan-kekuatan sosial yang ada di masyarakat untuk menduduki kekuasaan. Kedua, Setiap kekuatan di masyarakat saling berlomba untuk memegang kekuasaan lembaga negara, karenanya negara merupakan salah satu sumber konflik. Menurut Arief Budiman, teori negara pluralis sangat menekankan sistem politik yang terbuka dan demokratis, dan memungkinkan kelompok-kelompok sosial bersaing menduduki negara. Prosedur politik untuk mewujudkan semua hal ini adalah pemilu. Mekanisme pemilu berkala dan demokratis selain membuka persaingan antar semua kelompok dalam mengusai institusi negara, juga mencegah termanifestasinya anarkisme dalam berkompetisi dan berkonflik menguasai negara.
Karakter negara bisa diketahui dengan melihat bagaimana derajat otonomi (state autonomy) serta dukungan masyarakat terhadap negara (societed support for the state) tersebut. Apakah tinggi, moderat atau malah rendah. Dari sini Nordlinger menggolongkan empat tipe negara, yakni negara kuat (stong state), negara independen (independent state), negara responsif (responsive state) dan negara lemah (weak state).
Negara kuat adalah negara yang tingkat otonomi dan dukungan masyarakat tinggi. Negara bertindak berdasar preferensinya dan masyarakat selalu mendukung tindakan-tindakan itu. Negara independen yaitu negara yang tingkat otonominya tinggi namun dukungan masyarakat rendah. Negara responsif adalah negara yang derajat otonominya rendah tapi dukungan masyarakatnya tinggi. Sedangkan negara lemah ialah negara yang derajat otonomi dan dukungan masyarakatnya rendah.
2.    Masyarakat
Konsep masyarakat sering berada dibawah disiplin sosiologi. Sosiologi sendiri dimengerti sebagai ilmu tentang kehidupan masyarakat. Menurut definisi sosiologi, masyarakat merujuk kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dalam waktu yang cukup lama dan mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan dalam suatu sistem hidup bersama. Dalam politik, masyarakat sering dipahami secara lebih spesifik., yaitu apa yang disebut civil society.
Dalam tradisi Eropa sampai abad 18, makna civil society dianggap sama dengan pengertian negara. Hobbes dan Locke misalnya, mengartikan civil society sebagai tahapan evolusi dari natural society, sehingga civil society sama dengan negara. Hobbes melihatnya sebagai peredam konflik anatar individu dalam masyarakat supaya tidak saling menghancurkan. Sementara Locke bertolak dari paham kebebasan individu dan jaminan hak milik pribadi. Pada paruh abad 18, maknanya mulai bergeser, serta dibedakan dari negara. Langkah ini terutama dipelopori oleh filsuf Skotlandia, khususnya oleh Adam Ferguson dan sejumlah pemikir Eropa seperti Johan Forster, Tom Hodgkins, Emanuel Sieyes dan Tom Paine. Ferguson memaknai civil society sebagai suatu masyarakat yang terdiri dari lembaga-lembaga otonom yang cukup kuat mengimbani kekuasaan negara, sehingga terhindar dari dominasi dan deportisme negara. Adapun perubahan rumusan tentang civil society ini didorong oleh perkembangan teori civil society dan perubahan-perubagan konteks dimana teori-teori ini dikembangkan.
Dawam Raharjo menginvetarisir tiga bentuk pengertian civil society yang kiranya cukup membantu untuk memahami konsep ini. Pertama, civil society adalah suatu masyarakat politik yang punya lembaga-lembaga (misalnya parpol), tatanan hukum, tatanan sipil dan budaya kota. Kedua, civil society merupakan kolektifitas yang berbeda dengan negara. civil society adalah segala tatanan, aturan dan kelembagaan yang terpisah atau berada di luar negara. Artinya, terdapat dikotomi antara negara dan civil society. Ini adalah pengertian yang paling banyak dipakai sekarang. Ketiga, civil society dilihat identik dengan masyarakat borjuis. Pengertian ini muncul karena ada kenyataan bahwa yang membentuk negara itu adalah kaum borjuis.
Civil Society disini adalah arena bagi perbagai gerakan sosial serta organisasi sipil dari semua kelas untuk menyatakan diri dalam sutu himpunan, agar mereka dapat mengekspresikan diri mereka serta memajukan pelbagai kepentingan mereka.
3.    Hubungan Negara – Masyarakat.
Secara konseptual, mengkaji negara tidak dapat dilepaskan dari mengkaji masyarakat, begitu juga sebaliknya. Keduanya selalu dalam keadaan berinteraksi dan saling mempengaruhi. Dalam studi ini, akan digunakan teori stukturasi yang dikembangkan oleh Anthony Giddens untuk menjelaskan relasi negara-masyarakat. Sebetulnya teori Giddens bukan konsep tentang hubungan negara –masyarakat yang lazim dikenal dalam ilmu politik, namun ia memiliki daya penjelas yang sangat berguna. Teori Giddens digunakan karena secara seimbang dan jukstaposisi memposisikan negara dan masyarakat. Selain itu ia memiliki “fleksibelitas” jika dipakai menganalisa relasi negara –masyarakat yang sifatnya kompleks. Prinsip fleksibilitas inilah alas an utama penggunaan teori strukturasi Giddens disini.
Teori strukturasi, yang merupakan konsep epistimologi yang mendasari karya-karya giddens sesudah tahun 1998, adalah masalah yang paling fundamental dan akrab dalam ilmun sosial. Dua komponen penting yang ada dalam teri ini adalah “stuktur” dan “agensi”. Giddens mengartikan “stuktur” sebagai “rule and resources” yang dipakai pada proses produksi dan reproduksi sistem sosial; karakteristik sistem sosial terlembaga yang memiliki sifat-sifat struktural dalam artian bahwa hubungan-hubungan dimantapkan sepanjang waktu dan disembarang ruang. Sementara “agensi” (agency) adalah individu yang perpretator (yang berbuat).
Giddens tidak memandang stuktur dan agency sebagai dua hal yang berbeda karena jika demikian, akan memunculkan dualisme struktur-agensi. Struktur dan agensi harus dipandang sebagai dualitas (duality), dua sisi dari koin yang sama. Keduanya berhubungan secara dialektik, dalam arti struktur dan agensi saling berhubungan dan hal ini saling terus menerus.
Dalam teori ini, posisi negara dapat diartikan sebagai stuktur dan masyarakat sebagai agency. Untuk menghindari ketegangan, Giddens menegaskan perlunya hubungan kemitraan antara keduanya, yang saling memberikan kemudahan dan mengontrol. Artinya, negara dan masyarakat tidak dilihat sebagai dua kutub yang antagonistik, Dengan model ini, negara tidak mendominasi masyarakat, juga sebaliknya. Masing-masing dapat memasuki wilayah lainnya demi kepentingan dan kebaikan keduanya, tanpa ada maksud mendominasi pihak lain. Bila hubungan kemitraan ini bisa terwujud, demokrasi menjadi lebih prospektif uhntuk ditegakkan.
Selain teori strukturasi tersebut adalah teori Relative Deprivation oleh Ted Robert Gurr dalam bukunya Why Men Rebel. Konsep dasar Gurr adalah “perampasan” (deprivation). Perampasan memicu munculnya resistensi. Resistensi terjadi jika orang merasa suatu yang dihargainya, bermanfaat baginya, dirampas. Perasaan terampas inilah yang disebut Gurr sebagai “relative deprivation”. Relative deprivation berarti suatu persepsi perihal kesenjangan antara nilai yang diharapkan (value expectation) dengan kapabilitas untuk meraih nilai (value capabilities) yang diperlukan. Makna lain, relative deprivation adalah gambaran ketimpangan antara yang seharusnya (das sollen) dan yang senyatanya (das sein).
Hubungan Negara – Masyarakat di Era Orde Baru.
Di era debutnya Orde Baru (selanjutnya disebut Orba), yaitu paruh kedua tahun 1960-an, relasi negara dan masyarakat sempat mengalami masa bulan madu. Mayoritas masyarakat baru saja bersama dengan militer, yang lalu mengambil alih kekuasaan negara, menghancurkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Setelah Soekarno tersingkir, kekuasaan beralih ke militer dan Indonesia memasuki rezim Orba. Dilihat dari teori negara pluralis, posisi negara pada awal era Orba tergolong negara responsif. Negara saat itu masih lemah sedangkan posisi rakyat sangat kuat dan menikmati eforia kemenangan dan kebebasan. Tatkala negara berhasil menggalang kekuatan, keadaan berbalik arah, negara menjadi kuat dan masyarakat menjadi lemah (negara independen).
Sepanjang Orba berkuasa, posisi hubungan itu terus bertahan, dan terus menerus membuahkan ketegangan antara negara dan masyarakat. Tapi, posisi negara tetap superior. Posisi tawar masyarakat yang lemah membuat negara sangat leluasa memancapkan dominasi dan hegemoni. Hubungan negara- masyarakat pada era Orba adalah bentuk hubungan yang tidak sejajar (Zero-Sum), dimana dominasi negara adalah ciri utamanaya. Negara adalah gigantisme politik yang sangat perkasa di depan sosok masyarakat yang lemah, bisu, gagap dan selalu tanpa daya.
Negara pada rezim orba mengawasi masyarakat secara estensif dan mencampuri segala macam urusan di seluruh bidang kehidupan. Negara mengatur semua perilaku dan tindakan warga, termasuk mana yang boleh dipikirkan dan mana yang tidak. Lebih dari itu, Negara Orde Baru juga memonopoli proses pembuatan kebijakan.
Dalam teori civil society, pada pemerintahan Orde Baru terjadi dikotomi antara negara dan masyarakat. Menurut Eep Syaifullah Fatah ada empat aspek pokok dalam Negara Orde Baru. Pertama, kekuasaan Negara begitu luas dan begitu menenggelamkan masyarakat. Kedua, militer berperan sangat jauh dalam kerangka represi yang permanen. Ketiga, birokrasi didisfungsikan sehingga menjadi instrument regimentasi. Keempat, meluasnya praktek-praktek ekonomi pragatis yang melaahirkan para pemburu rente melalui korupsi dan kolusi.
Lahirnya Era Transisi
Pilar-pilar politik negara kuat Orba perlahan-lahan melemah dan memburuk. Rentetan peristiwa tahun 1997-1998 membawa Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden pada tanggal 21 Mei 1998. Sesaat sesudah pengumuman itu, kekuasaan beralih kepada B.J. Habibie yang saat itu menjabat wakil presiden. Menurut konstitusi yang berlaku pada saat itu, pasal 8 UUD 1945, apabila presiden berhenti maka yang berhak menggantikan adalah wakil presiden. Pengambilan sumpah jabatan terhadap B.J. Habibie dilakukan di Istana Merdeka oleh Ketua Mahkamah Agung dan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.
Dalam diskursus demokratisasi, fase transisi dimengerti sebagai rentang waktu antara tumbangnya rezim otoritarian dengan ancang-ancang munculnya rezim baru. Di situ berlangsung pergantian dari rezim otoritarian menuju “sesuatu yang lain” yang belum bisa dipastikan. Bisa jadi, fase baru melahirkan rezim baru yang demokratis, tapi tidak mustahil muncul restorasi dan modifikasi bentuk baru rezim otoritarian. Lalu apakah B.J. Habibie fase transisi itu?
1.    Periode B.J. Habibie
Banyak perdebatan serius mengenai fase transisi. Aktivis konfrontatif-radikal menilai pemerintahan B.J. Habibie bukanlah pemerintahan transisi. Sebab Habibie adalag tokoh Orba dan pemerintahannya hanyalah penerus rezim Orba. Pergantian dari Soeharto ke Habibie hanyalah “perubahan tanpa perubahan”. Pendapat lain menyebutkan periode Habibie sebagai fase transisi. Seperti yang dikatakan oleh Emil Salim dan Nurcholis Majid di Forum Keadilan No.5, tahun VII, 15 Juni 1998, bahwa sulit bagi habibie untuk berperan sebagai penerus setia Orba dan berkuasa sampai habis jabatannya (2003) kendati memang aktor Orba. Dengan legitimasi dan kredibilitas yang lemah, ditambah meluasnya semangat antipati terhadap Orba, pilihan yang paling realistis bagi Habibie ialah memainkan perannya sebagai pemerintahan transisional.
Tapi kiranya, kita bisa menerima pemerintahan Habibie sebagai tonggak formal dimulainya era transisi di Indonesia. Periode Habibie ini sebagai pemerintahan transisi juga konsisten dengan definisi dalam studi demokratisasi bahwa fase transisi dimulai manakala si pemimpin otoritarian telah tumbang dan digantikan seorang pemimpin baru, yang dapat saja adalah tokoh oposan yang menjatuhkannya atau merupakan “pemain lama” dari rezim yang sama.
2.    Periode Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Naiknya Abdurrahman Wahid (selanjutnya disebut Gus Dur) di parlemen dalam pemilihan presiden dan wakil presiden pada Sidang Umum MPR bulan Oktober 1999 terjadi pertarungan politik yang demikian seru dan menegangkan. Pertarungan ini diwarnai rivalitas dan polarisasi politik yang tajam antara faksi-faksi politik formal di parlemen. Konstitusi dalam pemilu 1999 menggariskan bahwa presiden dan wakil presiden dipilih MPR lewat suara terbanyak. Beberapa partai Islam dalam parlemen, yaitu PPP, PKB, PK dan PAN membangun aliansi berjuluk Poros Tengah. Dalam manuvernya poros tengah mengangkat Gus Dur sebagai calon presiden Indonesia. Sementara Habibie mundur dari pencalonannya menyusul voting pendapat anggota MPR menolak pertanggungjawabannya. Ini berarti pertarungan mengrucut antara Megawati Soekarno Puteri dan Gus Dur. Lewat sebuah voting, Gus Dur mengalahkan Megawati dengan perbandingan suara 373 : 313.
Secara umum, masyarakat menyambut baik dan menaruh ekpresi serta optimisme yang besar atas terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden. Nilai rupiah menguat hingga Rp. 6.700 per dollar AS dan indeks harga saham gabungan (IHSG) melejir menembus batas psikologis 700. dan memberikan angin segar bagi pemulihan ekonomi.
Pada perjalanan pemerintahan Gus Dur, banyak kritikan dan diprotes oleh masyarakat. Setidaknya ada tiga hal yang mengundang kritik dan protes masyarakat. Pertama, menyangkut kebiasaannya melontarkan pernyataan kontroversial. Gus Dur pernah mengatakan 3 menteri yang terlibat KKN, sehingga meresahkan meresahkan anggota kabinet. Tercatat selam menjabat sebagi presiden, Gus Dur mengeluarkan pernyataan kontroversial sebanyak 37 pernyataan. Kedua, Kebiasaan mencopot para pembantunya. Sepanjang satu tahun menjabat sebagai presiden, Gus Dur memberhentikan 16 menteri, baik dengan pemecatan, dorongan untuk mundur maupun reshuffle. Ketiga, Menyangkut kebiasaan presiden keluar negeri.Tidak kurang 36 negara di empat benua yang sudah dikunjungi. Konsolidasi ke luar negeri yang dilakukan Gus Dur menjadi modal untuk memulihkan ekonomi Indonesia dengan berbagai negara yang dikunjungi melakukan investasi modal di Indonesia. Namun hari-hari berikutnya, strategi politik ke luar negeri ala Gus Dur mengundang kritik karena tak ada follow up perbaikan dalam negeri.
Atas dasar hasil Pansus Bulog yang menyelidiki keterlibatan Gus Dur dalam Kasus Bulog Gade. Akhirnya DPR mengeluarkaan Memorandum I pada tanggal 1 Februari 2001 kepada Gus Dur. Dari memorandum I ini, mayoritas anggota DPR tidak puas dengan jawaban Gus Dur. Melalui sidang paripurna pada tanggal 30 April 2001, DPR mengeluarkan Memorandum II. Setelah memorandum II ini banyak terjadi konflik di internal pemerintahan Gus Dur, salah satunya adalah pemecatan Susilo Bambang Yudhoyono sebagi menteri Polsoskam digantikan Agum Gumelar.
Tanggal 24 Juli 2001 Sidang Istimewa MPR berlangsung, dan Gus Dur resmi meninggalkan posisinya sebagai presiden. Megawati naik menggantikannya sebagai Presiden kelima dibantu Hamzah Has yang terpilih sebagai Wakil Presiden.
Dalam proses penjatuhan Gus Dur sebagai Presiden, penulis menggunakan “teori Konspirasi”. Jatuhnya Gus Dur disebabkan oleh konspirasi yang dilakukan oleh sisa-sisa kekuatan status quo Orba yang tersisihkan dan terancam oleh langkah-langkah Gus Dur. Selain itu pertarungan elite politik yang diarasa kecewa terhadap Gus Dur dengan sikap arogan dan kontroversial.
Selain teori konspirasi diatas, teori Relative Deprivation oleh Ted Robert Gurr cukup relevan dalam menganalisa proses penjatuhan Gus Dur. Salah satu penyebab lengsernya Gus Dur diatas adalah dicopotnya beberapa menteri. Konsep dasar Gurr adalah “perampasan” (deprivation). Perampasan memicu munculnya resistensi. Jadi, beberapa menteri yang telah dicopot merupakan perwakilan dari beberapa partai politik dan fraksi –fraksi. Sehingga perampasan alat politik (menteri) ini, menimbulkan resistensi konflik dalam pemerintahan Gus Dur. Melalui wakil partai di kursi legislatif, partai politik melakukan tekanan dan manufer politik dengan Memorandum I dan II hingga terwujudnya pelengseran Gus Dur lewat Sidang Istimewa.
Penutup
Demikianlah telah kami paparkan dinamika politik pada era transisi di Indonesia berlangsung pesat dengan ditandai oleh perubahan yang cukup fantastis dalam kehidupan politik. Meskipun pencapaian dua periode pemerintahan (Habibie dan Gus Dur) belum memuaskan, jika dilihat dari agenda reformasi, harus diakui bahwa hasil-hasil itu telah meletakkan dasar yang cukup signifikan dalam penegakan demokrasi di Indonesia. Pada kadar yang paling minimal, dua pemerintahan tersebut telah membiarkan dan memfasilitasi berlangsungnya liberalisasi politik dan instalasi demokrasi di Indonesia yang memungkinkan kehidupan politik menjadi relatif demokratis. Ini artinya dua pemerintahan itu, demokrasi tidak mati. wassalam
Daftar Pustaka
A. Tony Prasetiantono, “Paradigma Baru Ekonomi Indonesia” dalam St. Sularto (ed), Menyelamatkan Masa Depan Indonesia, Evaluasi 100 Hari Pemerintahan Gus Dur, Jakarta: Kompas, 2000.
Budiman, Arief, Teori Negara: Negara, Kekuasaan Dan Ideology, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998.
Cohen, Ira. J., Stukturation Teory Anthony Giddens and The Konstitution Sosial Life, London: MacMilan Eduacation, 1989.
Eep Saefullah Fatah, Menuntaskan Perubahan I: Catatan Politik 1998-1999, Bandung:Mizan, 2000.
Giddens, Anthony, Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial, alih bahasa Ketut Arya Mahardika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999.
_______________, The Constutution Of Society: Teori Stukturasi Untuk Analisis Sosial, alih bahasa Adi Loka Sujono, Pasuruan, Penerbit Pedati, 2004.
Guillermo O’Donnel dan Philippe C. Schmitter, Transisi Menuju Demokrasi: Rangkaian Kemungkinan dan ketidakpastian, alih bahasa Nurul Agustina, Jakarta: LP3ES, 1998.
I. Wibowo, Negara dan Masyarakat: Berkaca dari Pengalaman Republik Cina, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Manan, Munafrizal, Gerakan Rakyat Melawan Elite, Yogyakarta, Resist Book, 2005.
Muhammad AS. Hikam, Demokrasi dan Civil society, Jakarta: LP3ES, 1996.
___________________, Islam, Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil society, Jakarta: Erlangga, 2000.
Rauf, Maswadi, “Civil Sosiety sebagai akar bagi demokratisasi di Indonesia” dalam M Deden Ridwan dan Dewi Nurjulianti (peny), Pembangunan Masyarakat Madani Dan Tantangan Demokratisasi Di Indonesia. Sebuah laporan Penelitian, Jakarta: LSAF & The Asia Foundation, 1999.
Saidi, Zaim, Secangkir Kopi Max Havelaar: LSM dan Kebangkitan masyarakat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1994.
Uhlin, Anders, Oposisi Berserak, Arus deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, alih bahasa Rofik Suhud, Bandung: Mizan, 1998.
Surat Kabar
Kompas, 20 Oktober 1999.
Forum Keadilan No.5, tahun VII, 15 Juni 1998


TANAH AIRKU TERCINTA

on Jumat, 18 Oktober 2013
Kecamatan Sape merupakan salah satu dari delapan belas kecamatan yang ada di Kabupaten Bima. Mempunyai 18 desa yang otonom yaitu :
Boke, Jia, Bugis, Naru, Rasabou, Sangia, Na'e, Rai O"i, Parangina, Kowo, Buncu, Poja, Bajo Pulau, Naru Barat, Sari, Tanah Putih, Lamere, dan desa Oi Maci. dengan jumlah penduduk lebih kurang 50.000 jiwa, dengan letak geografisnya sangat strategis yaitu paling timur di pulau sumbawa kab.bima. saya sendiri bisa katakan bahwa sape adalah gerbangnya Bima kawasan timur dan sape juga memiliki potensi sumber daya alam (SDA) yang beragam mulai dari sektor pertanian, kehutanan, perkebunan, kelautan dll. Ini tentu kita sebagai masyarakat sape harus memakai kacamata dalam melihat dan menata kondisi sape dalam konteks kekinian, seperti yang saya ungkapkan di atas daerah kita kaya akan alamnya tapi miskin sumber daya manusianya (pendidikan) saya rasa ini adalah sebuah kesenjangan sosial yg membutuhkan sebuah jawaban,, kira-kira apa solusinya ketika terjadi demikian ? saya kira ini adalah tanggung jawabnya kita sebagai mahasiswa yang katanya mahasiswa adalah sebagai manusia intelek, pelaku pembaharuan (agen of change), pengontrol masyarakat (social of control), moral force (gerakan moral), pemimpin masa depan, parlemen jalanan dan masih banyak lagi fungsinya mahasiswa yang belum kita sadari. seakan-akan mahasiswa sape hari ini telah kehilangan identitasnya, merasa apatis terhadapa realitas sosial yang terjadi baik itu di bidang pendidikan, sosial budaya, pemerintah(politik), ekonomi,hukum dll.
Ketika mereka pulang kampung almamater suatu kebanggaan kampus itu di buang begitu saja dalam pengertian ke idelismenya sebagai penyambung lidah masyarakat di hiraukan begitu saja tanpa di pertanggung jawabkan, teman-teman coba renungkan mulai saat ini apakah kepala desa di desa teman-teman sudah mensejahtrakan masyarakatnya, sudahkah kepala desa teman-teman berbuat adi membagikan beras RASKIN kepada mereka yang membutuhkan, sudahkah mereka memperhatikan masyarakatnya. saya rasa masi tanda tanya besar buat kita semua, contoh kasus kepala desa …………… ketika masyarakatnya mengurus KTP, AKTA dll, harus kerumahnya untuk meminta tanda tangan sungguh lucuh dan ironis ketika ini di biarkan begitu saja, sedangkan dalam Peraturan pemerintahan desa no 72 tahun 2005 Paragraf 2 Tugas, Wewenang, Kewajiban .tugas kepala desa anatara lain menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan, secara legalitas hukum kepala desa hari ini banyak yang cacat hukum.
Semestinya badan permusyawaratan desa (BPD) harus mengfungsikan dirinya sebagai lembaga independen yang di bentuk atas dasar Otonomi desa yang mengontrol kinerja kepala desa. jadi antara BPD dan kepala desa mitra sejajar tidak ada yang lebih tinggi antara keduanya ibarat Lembaga Tinggi Negara Eksekutif (presiden) menjalankan UU dan legislatif (DPR) membuat UU, begitu juga sistem pemerintah desa tapi kalau kita melihat realitas lapangan yang ada di kampung kita seakan-akan BPD sudah menjadi budak kepala desa. Sedangkan masyarakat tidak diberikan ruang untuk menyampaikan pendapat untuk kemajuan desa dan hanya di jadikan penonton saja___________

SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA


SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA

Pembukaan UUD 1945 Alinea IV menyatakan bahwa kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat. Berdasarkan Pasal 1 Ayat 1 UUD 1945, Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Berdasarkan hal itu dapat disimpulkan bahwa bentuk negara Indonesia adalah kesatuan, sedangkan bentuk pemerintahannya adalah republik.

Selain bentuk negara kesatuan dan bentuk pemerintahan republik, Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Hal itu didasarkan pada Pasal 4 Ayat 1 yang berbunyi, “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.” Dengan demikian, sistem pemerintahan di Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial. Apa yang dimaksud dengan sistem pemerintahan presidensial? Untuk mengetahuinya, terlebih dahulu dibahas mengenai sistem pemerintahan.
I. Pengertian Sistem Pemerintahan
Istilah sistem pemerintahan berasal dari gabungan dua kata system dan pemerintahan. Kata system merupakan terjemahan dari kata system (bahasa Inggris) yang berarti susunan, tatanan, jaringan, atau cara. Sedangkan Pemerintahan berasal dari kata pemerintah, dan yang berasal dari kata perintah. kata-kata itu berarti:
a. Perintah adalah perkataan yang bermakna menyuruh melakukan sesuatau
b. Pemerintah adalah kekuasaan yang memerintah suatu wilayah, daerah, atau, Negara.
c. Pemerintahan adalaha perbuatan, cara, hal, urusan dalam memerintah
Maka dalam arti yang luas, pemerintahan adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan-badan legislative, eksekutif, dan yudikatif di suatu Negara dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara. Dalam arti yang sempit, pemerintaha adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan eksekutif beserta jajarannya dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara. Sistem pemerintahan diartikan sebagai suatu tatanan utuh yang terdiri atas berbagai komponen pemerintahan yang bekerja saling bergantungan dan memengaruhi dalam mencapaian tujuan dan fungsi pemerintahan. Kekuasaan dalam suatu Negara menurut Montesquieu diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu Kekuasaan Eksekutif yang berarti kekuasaan menjalankan undang-undang atau kekuasaan menjalankan pemerintahan; Kekuasaan Legislatif yang berati kekuasaan membentuk undang-undang; Dan Kekuasaan Yudikatif yang berati kekuasaan mengadili terhadap pelanggaran atas undang-undang. Komponen-komponen tersebut secara garis besar meliputi lembaga eksekutif, legislative dan yudikatif. Jadi, system pemerintahan negara menggambarkan adanya lembaga-lembaga negara, hubungan antar lembaga negara, dan bekerjanya lembaga negara dalam mencapai tujuan pemerintahan negara yang bersangkutan.
Tujuan pemerintahan negara pada umumnya didasarkan pada cita-cita atau tujuan negara. Misalnya, tujuan pemerintahan negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Lembaga-lembaga yang berada dalam satu system pemerintahan Indonesia bekerja secara bersama dan saling menunjang untuk terwujudnya tujuan dari pemerintahan di negara Indonesia.
Dalam suatu negara yang bentuk pemerintahannya republik, presiden adalah kepala negaranya dan berkewajiban membentuk departemen-departemen yang akan melaksakan kekuasaan eksekutif dan melaksakan undang-undang. Setiap departemen akan dipimpin oleh seorang menteri. Apabila semua menteri yang ada tersebut dikoordinir oleh seorang perdana menteri maka dapat disebut dewan menteri/cabinet. Kabinet dapat berbentuk presidensial, dan kabinet ministrial.
a. Kabinet Presidensial

Kabinet presidensial adalah suatu kabinet dimana pertanggungjawaban atas kebijaksanaan pemerintah dipegang oleh presiden. Presiden merangkap jabatan sebagai perdana menteri sehingga para menteri tidak bertanggung jawab kepada perlemen/DPR melainkan kepada presiden. Contoh negara yang menggunakan sistem kabinet presidensial adalah Amarika Serikat
dan Indonesia
b. Kabinet Ministrial

Kabinet ministrial adalah suatu kabinet yang dalam menjalankan kebijaksaan pemerintan, baik seorang menteri secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama seluruh anggota kebinet bertanggung jawab kepada parlemen/DPR. Contoh negara yang menggunakan sistem kabinet ini adalah negara-negara di Eropa Barat.

Apabila dilihat dari cara pembentukannya, cabinet ministrial dapat dibagi menjadi dua, yaitu cabinet parlementer dan cabinet ekstraparlementer.

Kabinet parlementer adalah suatu kabinet yang dibentuk dengan memperhatikan dan memperhitungkan suara-suara yang ada didalam parlemen. Jika dilihat dari komposisi (susunan keanggotaannya), cabinet parlementer dibagi menjadi tiga, yaitu kabinet koalisi, kabinet nasional, dan kabinet partai.

Kabinet Ekstraparlementer adalah kebinet yang pembentukannya tidak memperhatikan dan memperhitungkan suara-suara serta keadaan dalam parlemen/DPR.

II. Sistem Pemerintahan Parlementer Dan Presidensial

Sistem pemerintahan negara dibagi menjadi dua klasifikasi besar, yaitu:
1. sistem pemerintahan presidensial;

2. sistem pemerintahan parlementer.

Pada umumnya, negara-negara didunia menganut salah satu dari sistem pemerintahan tersebut. Adanya sistem pemerintahan lain dianggap sebagai variasi atau kombinasi dari dua sistem pemerintahan diatas. Negara Inggris dianggap sebagai tipe ideal dari negara yang menganut sistem pemerintahan parlemen. Bhakan, Inggris disebut sebagai Mother of Parliaments (induk parlemen), sedangkan Amerika Serikat merupakan tipe ideal dari negara dengan sistem pemerintahan presidensial.

Kedua negara tersebut disebut sebagai tipe ideal karena menerapkan ciri-ciri yang dijalankannya. Inggris adalah negara pertama yang menjalankan model pemerintahan parlementer. Amerika Serikat juga sebagai pelopor dalam sistem pemerintahan presidensial. Kedua negara tersebut sampai sekarang tetap konsisten dalam menjalankan prinsip-prinsip dari sistem pemerintahannya. Dari dua negara tersebut, kemudian sistem pemerintahan diadopsi oleh negara-negara lain dibelahan dunia.

Klasifikasi sistem pemerintahan presidensial dan parlementer didasarkan pada hubungan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif. Sistem pemerintahan disebut parlementer apabila badan eksekutif sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif mendapat pengawasan langsung dari badan legislatif. Sistem pemerintahan disebut presidensial apabila badan eksekutif berada di luar pengawasan langsung badan legislatif.

Untuk lebih jelasnya, berikut ini ciri-ciri, kelebihan serta kekurangan dari sistem pemerintahan parlementer.

Ciri-ciri dari sistem pemerintahan parlementer adalah sebagai berikut :
  1. Badan legislatif atau parlemen adalah satu-satunya badan yang anggotanya dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Parlemen memiliki kekuasaan besar sebagai badan perwakilan dan lembaga legislatif.
  2. Anggota parlemen terdiri atas orang-orang dari partai politik yang memenangkan pemiihan umum. Partai politik yang menang dalam pemilihan umum memiliki peluang besar menjadi mayoritas dan memiliki kekuasaan besar di parlemen.
  3. Pemerintah atau kabinet terdiri dari atas para menteri dan perdana menteri sebagai pemimpin kabinet. Perdana menteri dipilih oleh parlemen untuk melaksakan kekuasaan eksekutif. Dalam sistem ini, kekuasaan eksekutif berada pada perdana menteri sebagai kepala pemerintahan. Anggota kabinet umumnya berasal dari parlemen.
  4. Kabinet bertanggung jawab kepada parlemen dan dapat bertahan sepanjang mendapat dukungan mayoritas anggota parlemen. Hal ini berarti bahwa sewaktu-waktu parlemen dapat menjatuhkan kabinet jika mayoritas anggota parlemen menyampaikan mosi tidak percaya kepada kabinet.
  5. Kepala negara tidak sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Kepala pemerintahan adalah perdana menteri, sedangkan kepala negara adalah presiden dalam negara republik atau raja/sultan dalam negara monarki. Kepala negara tidak memiliki kekuasaan pemerintahan. Ia hanya berperan sebgai symbol kedaulatan dan keutuhan negara.
  6. Sebagai imbangan parlemen dapat menjatuhkan kabinet maka presiden atau raja atas saran dari perdana menteri dapat membubarkan parlemen. Selanjutnya, diadakan pemilihan umum lagi untuk membentukan parlemen baru.
Kelebihan Sistem Pemerintahan Parlementer:
  • Pembuat kebijakan dapat ditangani secara cepat karena mudah terjadi penyesuaian pendapat antara eksekutif dan legislatif. Hal ini karena kekuasaan eksekutif dan legislatif berada pada satu partai atau koalisi partai.
  • Garis tanggung jawab dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan public jelas.
  • Adanya pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap kabinet sehingga kabinet menjadi barhati-hati dalam menjalankan pemerintahan.
Kekurangan Sistem Pemerintahan Parlementer :
  • Kedudukan badan eksekutif/kabinet sangat tergantung pada mayoritas dukungan parlemen sehingga sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen.
  • Kelangsungan kedudukan badan eksekutif atau kabinet tidak bias ditentukan berakhir sesuai dengan masa jabatannya karena sewaktu-waktu kabinet dapat bubar.
  • Kabinet dapat mengendalikan parlemen. Hal itu terjadi apabila para anggota kabinet adalah anggota parlemen dan berasal dari partai meyoritas. Karena pengaruh mereka yang besar diparlemen dan partai, anggota kabinet dapat mengusai parlemen.
  • Parlemen menjadi tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif. Pengalaman mereka menjadi anggota parlemen dimanfaatkan dan manjadi bekal penting untuk menjadi menteri atau jabatan eksekutif lainnya.
Dalam sistem pemerintahan presidensial, badan eksekutif dan legislatif memiliki kedudukan yang independen. Kedua badan tersebut tidak berhubungan secara langsung seperti dalam sistem pemerintahan parlementer. Mereka dipilih oleh rakyat secara terpisah.

Untuk lebih jelasnya, berikut ini ciri-ciri, kelebihan serta kekurangan dari sistem pemerintahan presidensial.

Ciri-ciri dari sistem pemerintaha presidensial adalah sebagai berikut.
  1. Penyelenggara negara berada ditangan presiden. Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden tidak dipilih oleh parlemen, tetapi dipilih langsung oleh rakyat atau suatu dewan majelis.
  2. Kabinet (dewan menteri) dibentuk oleh presiden. Kabinet bertangungjawab kepada presiden dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen atau legislatif.
  3. Presiden tidak bertanggungjawab kepada parlemen. Hal itu dikarenakan presiden tidak dipilih oleh parlemen.
  4. Presiden tidak dapat membubarkan parlemen seperti dalam sistem parlementer.
  5. Parlemen memiliki kekuasaan legislatif dan sebagai lembaga perwakilan. Anggota parlemen dipilih oleh rakyat.
  6. Presiden tidak berada dibawah pengawasan langsung parlemen.
Kelebihan Sistem Pemerintahan Presidensial :
  • Badan eksekutif lebih stabil kedudukannya karena tidak tergantung pada parlemen.
  • Masa jabatan badan eksekutif lebih jelas dengan jangka waktu tertentu. Misalnya, masa jabatan Presiden Amerika Serikat adalah empat tahun, Presiden Indonesia adalah lima tahun.
  • Penyusun program kerja kabinet mudah disesuaikan dengan jangka waktu masa jabatannya.
  • Legislatif bukan tempat kaderisasi untuk jabatan-jabatan eksekutif karena dapat diisi oleh orang luar termasuk anggota parlemen sendiri.
Kekurangan Sistem Pemerintahan Presidensial :
  • Kekuasaan eksekutif diluar pengawasan langsung legislatif sehingga dapat menciptakan kekuasaan mutlak.
  • Sistem pertanggungjawaban kurang jelas.
  • Pembuatan keputusan atau kebijakan publik umumnya hasil tawar-menawar antara eksekutif dan legislatif sehingga dapat terjadi keputusan tidak tegas dan memakan waktu yang lama.
III. Pengaruh Sistem Pemerintahan Satu Negara Terhadap Negara-negara Lain

Sistem pemerintahan negara-negara didunia ini berbeda-beda sesuai dengan keinginan dari negara yang bersangkutan dan disesuaikan dengan keadaan bangsa dan negaranya. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer merupakan dua model sistem pemerintahan yang dijadikan acuan oleh banyak negara. Amerika Serikat dan Inggris masing-masing dianggap pelopor dari sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer. Dari dua model tersebut, kemudian dicontoh oleh negara-negar lainnya.

Contoh negara yang menggunakan sistem pemerintahan presidensial: Amerika Serikat, Filipina, Brasil, Mesir, dan Argentina. Dan contoh negara yang menggunakan sistem pemerintahan parlemen: Inggris, India, Malaysia, Jepang, dan Australia.

Meskipun sama-sama menggunakan sistem presidensial atau parlementer, terdapat variasi-variasi disesuaikan dengan perkembangan ketatanegaraan negara yang bersangkutan. Misalnya, Indonesia yang menganut sistem pemerintahan presidensial tidak akan sama persis dengan sistem pemerintahan presidensial yang berjalan di Amerika Serikat. Bahkan, negara-negara tertentu memakai sistem campuran antara presidensial dan parlementer (mixed parliamentary presidential system). Contohnya, negara Prancis sekarang ini. Negara tersebut memiliki presiden sebagai kepala negara yang memiliki kekuasaan besar, tetapi juga terdapat perdana menteri yang diangkat oleh presiden untuk menjalankan pemerintahan sehari-hari.

Sistem pemerintahan suatu negara berguna bagi negara lain. Salah satu kegunaan penting sistem pemerintahan adalah sistem pemerintahan suatu negara menjadi dapat mengadakan perbandingan oleh negara lain. Suatu negara dapat mengadakan perbandingan sistem pemerintahan yang dijalankan dengan sistem pemerintahan yang dilaksakan negara lain. Negara-negara dapat mencari dan menemukan beberapa persamaan dan perbedaan antarsistem pemerintahan. Tujuan selanjutnya adalah negara dapat mengembangkan suatu sistem pemerintahan yang dianggap lebih baik dari sebelumnya setelah melakukan perbandingan dengan negara-negara lain. Mereka bisa pula mengadopsi sistem pemerintahan negara lain sebagai sistem pemerintahan negara yang bersangkutan.
Para pejabat negara, politisi, dan para anggota parlemen negara sering mengadakan kunjungan ke luar negeri atau antarnegara. Mereka melakukan pengamatan, pengkajian, perbandingan sistem pemerintahan negara yang dikunjungi dengan sistem pemerintahan negaranya. Seusai kunjungan para anggota parlemen tersebut memiliki pengetahuan dan wawasan yang semakin luas untuk dapat mengembangkan sistem pemerintahan negaranya.

Pembangunan sistem pemerintahan di Indonesia juga tidak lepas dari hasil mengadakan perbandingan sistem pemerintahan antarnegara. Sebagai negara dengan sistem presidensial, Indonesia banyak mengadopsi praktik-praktik pemerintahan di Amerika Serikat. Misalnya, pemilihan presiden langsung dan mekanisme cheks and balance. Konvensi Partai Golkar menjelang pemilu tahun 2004 juga mencontoh praktik konvensi di Amerika Serikat. Namun, tidak semua praktik pemerintahan di Indonesia bersifat tiruan semata dari sistem pemerintahan Amerika Serikat. Contohnya, Indonesia mengenal adanya lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat, sedangkan di Amerika Serikat tidak ada lembaga semacam itu.

Dengan demikian, sistem pemerintahan suatu negara dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan atau model yang dapat diadopsi menjadi bagian dari sistem pemerintahan negara lain. Amerika Serikat dan Inggris masing-masing telah mampu membuktikan diri sebagai negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial dan parlementer seara ideal. Sistem pemerintahan dari kedua negara tersebut selanjutnya banyak ditiru oleh negara-negara lain di dunia yang tentunya disesuaikan dengan negara yang bersangkutan.

IV. Sistem Pemerintahan Indonesia

a. Sistem Pemerintahan Negara Indonesia Berdasarkan UUD 1945 Sebelum Diamandemen.
Pokok-pokok sistem pemerintahan negara Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebelum diamandemen tertuang dalam Penjelasan UUD 1945 tentang tujuh kunci pokok sistem pemerintahan negara tersebut sebagai berikut.
  1. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat).
  2. Sistem Konstitusional.
  3. Kekuasaan negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
  4. Presiden adalah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi dibawah Majelis Permusyawaratan Rakyat.
  5. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
  6. Menteri negara ialah pembantu presiden, menteri negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
  7. Kekuasaan kepala negara tidak tak terbatas.
Berdasarkan tujuh kunci pokok sistem pemerintahan, sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 menganut sistem pemerintahan presidensial. Sistem pemerintahan ini dijalankan semasa pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Suharto. Ciri dari sistem pemerintahan masa itu adalah adanya kekuasaan yang amat besar pada lembaga kepresidenan. Hampir semua kewenangan presiden yang di atur menurut UUD 1945 tersebut dilakukan tanpa melibatkan pertimbangan atau persetujuan DPR sebagai wakil rakyat. Karena itu tidak adanya pengawasan dan tanpa persetujuan DPR, maka kekuasaan presiden sangat besar dan cenderung dapat disalahgunakan. Mekipun adanya kelemahan, kekuasaan yang besar pada presiden juga ada dampak positifnya yaitu presiden dapat mengendalikan seluruh penyelenggaraan pemerintahan sehingga mampu menciptakan pemerintahan yang kompak dan solid. Sistem pemerintahan lebih stabil, tidak mudah jatuh atau berganti. Konflik dan pertentangan antar pejabat negara dapat dihindari. Namun, dalam praktik perjalanan sistem pemerintahan di Indonesia ternyata kekuasaan yang besar dalam diri presiden lebih banyak merugikan bangsa dan negara daripada keuntungan yang didapatkanya.

Memasuki masa Reformasi ini, bangsa Indonesia bertekad untuk menciptakan sistem pemerintahan yang demokratis. Untuk itu, perlu disusun pemerintahan yang konstitusional atau pemerintahan yang berdasarkan pada konstitusi. Pemerintah konstitusional bercirikan bahwa konstitusi negara itu berisi
  1. adanya pembatasan kekuasaan pemerintahan atau eksekutif,
  2. jaminan atas hak asasi manusia dan hak-hak warga negara.
Berdasarkan hal itu, Reformasi yang harus dilakukan adalah melakukan perubahan atau amandemen atas UUD 1945. dengan mengamandemen UUD 1945 menjadi konstitusi yang bersifat konstitusional, diharapkan dapat terbentuk sistem pemerintahan yang lebih baik dari yang sebelumnya. Amandemen atas UUD 1945 telah dilakukan oleh MPR sebanyak empat kali, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. berdasarkan UUD 1945 yang telah diamandemen itulah menjadi pedoman bagi sistem pemerintaha Indonesia sekarang ini.
b. Sistem pemerintahan Negara Indonesia Berdasarkan UUD 1945 Setelah Diamandemen
Sekarang ini sistem pemerintahan di Indonesia masih dalam masa transisi. Sebelum diberlakukannya sistem pemerintahan baru berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen keempat tahun 2002, sistem pemerintahan Indonesia masih mendasarkan pada UUD 1945 dengan beberapa perubahan seiring dengan adanya transisi menuju sistem pemerintahan yang baru. Sistem pemerintahan baru diharapkan berjalan mulai tahun 2004 setelah dilakukannya Pemilu 2004.

Pokok-pokok sistem pemerintahan Indonesia adalah sebagai berikut.
  1. Bentuk negara kesatuan dengan prinsip otonomi daerah yang luas. Wilayah negara terbagi dalam beberapa provinsi.
  2. Bentuk pemerintahan adalah republik, sedangkan sistem pemerintahan presidensial.
  3. Presiden adalah kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Presiden dan wakil presiden  dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu paket.
  4. Kabinet atau menteri diangkat oleh presiden dan bertanggung jawab kepada presiden.
  5. Parlemen terdiri atas dua bagian (bikameral), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Para anggota dewan merupakan anggota MPR. DPR memiliki kekuasaan legislatif dan kekuasaan mengawasi jalannya pemerintahan.
  6. Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Makamah Agung dan badan peradilan dibawahnya.
Sistem pemerintahan ini juga mengambil unsur-unsur dari sistem pemerintahan parlementer dan melakukan pembaharuan untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan yang ada dalam sistem presidensial. Beberapa variasi dari sistem pemerintahan presidensial di Indonesia adalah sebagai berikut;
  1. Presiden sewaktu-waktu dapat diberhentikan oleh MPR atas usul dari DPR. Jadi, DPR tetap memiliki kekuasaan mengawasi presiden meskipun secara tidak langsung.
  2. Presiden dalam mengangkat penjabat negara perlu pertimbangan atau persetujuan dari DPR.
  3. Presiden dalam mengeluarkan kebijakan tertentu perlu pertimbangan atau persetujuan dari DPR.
  4. Parlemen diberi kekuasaan yang lebih besar dalam hal membentuk undang-undang dan hak budget (anggaran)
Dengan demikian, ada perubahan-perubahan baru dalam sistem pemerintahan Indonesia. Hal itu diperuntukan dalam memperbaiki sistem presidensial yang lama. Perubahan baru tersebut, antara lain adanya pemilihan secara langsung, sistem bikameral, mekanisme cheks and balance, dan pemberian kekuasaan yang lebih besar kepada parlemen untuk melakukan pengawasan dan fungsi anggaran.



Kesimpulan
Sistem pemerintahan negara menggambarkan adanya lembaga-lembaga yang bekerja dan berjalan saling berhubungan satu sama lain menuju tercapainya tujuan penyelenggaraan negara. Lembaga-lembaga negara dalam suatu sistem politik meliputi empat institusi pokok, yaitu eksekutif, birokratif, legislatif, dan yudikatif. Selain itu, terdapat lembaga lain atau unsur lain seperti parlemen, pemilu, dan dewan menteri.

Pembagian sistem pemerintahan negara secara modern terbagi dua, yaitu presidensial dan ministerial (parlemen). Pembagian sistem pemerintahan presidensial dan parlementer didasarkan pada hubungan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif. Dalam sistem parlementer, badan eksekutif mendapat pengawasan langsung dari legislatif. Sebaliknya, apabila badan eksekutif berada diluar pengawasan legislatif maka sistem pemerintahannya adalah presidensial.
Dalam sistem pemerintahan negara republik, lembaga-lembaga negara itu berjalan sesuai dengan mekanisme demokratis, sedangkan dalam sistem pemerintahan negara monarki, lembaga itu bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip yang berbeda.

Sistem pemerintahan suatu negara berbeda dengan sistem pemerintahan yang dijalankan di negara lain. Namun, terdapat juga beberapa persamaan antar sistem pemerintahan negara itu. Misalnya, dua negara memiliki sistem pemerintahan yang sama.
Perubahan pemerintah di negara terjadi pada masa genting, yaitu saat perpindahan kekuasaan atau kepemimpinan dalam negara. Perubahan pemerintahan di Indonesia terjadi antara tahun 1997 sampai 1999. Hal itu bermula dari adanya krisis moneter dan krisis ekonomi.