RELASI NEGARA – MASYARAKAT PADA ERA TRANSISI DI INDONESIA (1998-2001) (Analisis Sosial Politik pada Pemerintahan B.J. Habibie dan Gus Dur)

on Kamis, 24 Oktober 2013
Tanggal 21 Mei 1998 boleh jadi adalah hari paling bersejarah dalam jejak politik Indonesia kontemporer. Saat itu, Soeharto menyatakan berhenti sebagai presiden RI, setelah 32 tahun lebih menjadi orang nomor satu di negeri ini. Peristiwa dramatis itu diawali munculnya tekanan massa mahasiswa dalam gerakan reformasi berskala nasional. Pada saat yang sama dukungan dari banyak pihak termasuk di dalam lingkaran kekuasaannya sendiri menyusut terhadap legitimasi kekuasaan bapak Orde Baru tersebut.
Jatuhnya Soeharto adalah tonggak baru bagi sejarah Indonesia. Banyak pihak yang memaknainya sebagai titik awal era transisi Indonesia. Di era transisi ini, tumbuh harapan baru masyarakat tentang kehidupan yang lebih baik. Untuk mewujudkannya, sebagaimana dialami negara-negara di kawasan Amerika Latin, Eropa Timur, dan Asia-Indonesia harus dapat melewati proses transisi menuju demokrasi itu. Sebab, transisi menuju demokrasi, seperti dijelaskan O’Donnel dan Schmitter, selalu penuh ketidakpastian, sama sekali tidak linear dan rasional. Sehingga banyak sekali ketidakpastian soal kemampuan melewati masa ini.
Masa transisi adalah lahan subur sekaligus tantangan bagi para peminat studi politik Indonesia. Era ini adalah momen tepat untuk merumuskan teori perpolitikan Indonesia Mutakhir atau untuk menguji teori-teori sebelumnya. Salah satu topik mendasar transisi adalah tentang hubungan negara-masyarakat. Sebagai kekuatan besar yang menentukan capaian transisi ini, negara dan masyarakat adalah dua variable penting yang tidak dapat diabaikan.
Masyarakat adalah faktor yang penting. Demokratisasi acapkali adalah hasil penguatan dan dinamika masyarakat vis – a-vis negara. Begitu pula negara, sebagai lembaga dengan otoritas besar dan dapat menerapkan kekerasan atas masyarakat –seperti dikemukakan Max Weber – maka negara adalah faktor penting yang harus pula dicermati. Keduanya adalah variable bebas (independent variable) sekaligus parameter (dependent variable) keberhasilan transisi.
Disinilah letak pentingnya analisis tentang hubungan negara –masyarakat di era transisi. Dalam diskursus politik, kajian tentang hubungan negara-masyarakat memiliki kedudukan penting bagi kajian tentang transisi demokrasi. Menurut Alfred Stepan, studi tentang hubungan negara-masyarakat merupakan “one of the central concerns of the discripline of political science”. Topik ini adalah salah satu sub kajian dalam ilmu politik yang umurnya sudah amat tua. Ada yang bilang bahwa kajian hubungan negara – masyarakat adalah isu abadi dalam teori politik.
Dalam masalah ini, sedikit ada tiga pertanyaan perlu diajukan. Pertama, bagaimana dinamika dan posisi negara dan masyarakat di era transisi di Indonesia? Kedua, Bagaimana bentuk relasi negara dan masyarakat di masa ini. Dan ketiga, Bagaiman implikasi pola hubungan tersebut bagi prospek demokrasi terkonsolidasi di Indonesia? Untuk keperluan inilah makalah ini kami tulis.
Kerangka Teori
Beberapa kerangka teoretis bisa bermanfaat disini. Mulai dari teori negara, teori civil Society, teori relative deprivation dari Ted Robert Gurr, Teori stukturasi dari Anthony Giddens dan teori konspirasi. teori negara dan teori civil society perlu disajikan, karena unit analisis penulis adalah negara dan masyarakat. Teori relative deprivation akan penulis gunakan untuk menjelaskan mengapa terjadi gelombang resistensi masyarakat terhadap egara dan teori strukturalis dan teori konspirasi akan menjadi alternatif alat analisis.
1.    Negara
Ada banyak teori tentang negara yang beredar dalam kahasanah sosial dan politik. Namun tidak semuanya relevan untuk menjelaskan watak negara di era transisi Indonesia. Kondisi obyektif negara di era transisi Indonesia tidak dijelaskan hanya dengan merujuk pada salah satu teori negara saja. Ada bagian-bagian tertentu dalam kartakter ini yang bisa menunjukkan berlakunya salah satu teori. Tapi bagian-bagian lain dari dinamika relasi negara-masyarakat tidak terjelaskan oleh teori yang sama.
Namun kiranya kita bisa mencoba menggunakan secara eklektik dan komplementer dua teori negara yang menjadi acuan disini, yaitu teori negara pluralis dan teori Negara yang dikemukakan Eric A. Nordlinger. Teori ini relatif relevan untuk menjelaskan dinamika dan posisi negara pada era transisi Indonesia dan dua teori ini diambil konsep tertentu padanya yang relevan untuk keperluan analisis masalah ini.
Dalam teori negara pluralis terdapat dua postulat penting. Pertama, negara merupakan institusi yang tidak mandiri, kedua negara hanya merupakan alat yang netral dari kekuatan-kekuatan sosial yang ada di masyarakat untuk menduduki kekuasaan. Kedua, Setiap kekuatan di masyarakat saling berlomba untuk memegang kekuasaan lembaga negara, karenanya negara merupakan salah satu sumber konflik. Menurut Arief Budiman, teori negara pluralis sangat menekankan sistem politik yang terbuka dan demokratis, dan memungkinkan kelompok-kelompok sosial bersaing menduduki negara. Prosedur politik untuk mewujudkan semua hal ini adalah pemilu. Mekanisme pemilu berkala dan demokratis selain membuka persaingan antar semua kelompok dalam mengusai institusi negara, juga mencegah termanifestasinya anarkisme dalam berkompetisi dan berkonflik menguasai negara.
Karakter negara bisa diketahui dengan melihat bagaimana derajat otonomi (state autonomy) serta dukungan masyarakat terhadap negara (societed support for the state) tersebut. Apakah tinggi, moderat atau malah rendah. Dari sini Nordlinger menggolongkan empat tipe negara, yakni negara kuat (stong state), negara independen (independent state), negara responsif (responsive state) dan negara lemah (weak state).
Negara kuat adalah negara yang tingkat otonomi dan dukungan masyarakat tinggi. Negara bertindak berdasar preferensinya dan masyarakat selalu mendukung tindakan-tindakan itu. Negara independen yaitu negara yang tingkat otonominya tinggi namun dukungan masyarakat rendah. Negara responsif adalah negara yang derajat otonominya rendah tapi dukungan masyarakatnya tinggi. Sedangkan negara lemah ialah negara yang derajat otonomi dan dukungan masyarakatnya rendah.
2.    Masyarakat
Konsep masyarakat sering berada dibawah disiplin sosiologi. Sosiologi sendiri dimengerti sebagai ilmu tentang kehidupan masyarakat. Menurut definisi sosiologi, masyarakat merujuk kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dalam waktu yang cukup lama dan mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan dalam suatu sistem hidup bersama. Dalam politik, masyarakat sering dipahami secara lebih spesifik., yaitu apa yang disebut civil society.
Dalam tradisi Eropa sampai abad 18, makna civil society dianggap sama dengan pengertian negara. Hobbes dan Locke misalnya, mengartikan civil society sebagai tahapan evolusi dari natural society, sehingga civil society sama dengan negara. Hobbes melihatnya sebagai peredam konflik anatar individu dalam masyarakat supaya tidak saling menghancurkan. Sementara Locke bertolak dari paham kebebasan individu dan jaminan hak milik pribadi. Pada paruh abad 18, maknanya mulai bergeser, serta dibedakan dari negara. Langkah ini terutama dipelopori oleh filsuf Skotlandia, khususnya oleh Adam Ferguson dan sejumlah pemikir Eropa seperti Johan Forster, Tom Hodgkins, Emanuel Sieyes dan Tom Paine. Ferguson memaknai civil society sebagai suatu masyarakat yang terdiri dari lembaga-lembaga otonom yang cukup kuat mengimbani kekuasaan negara, sehingga terhindar dari dominasi dan deportisme negara. Adapun perubahan rumusan tentang civil society ini didorong oleh perkembangan teori civil society dan perubahan-perubagan konteks dimana teori-teori ini dikembangkan.
Dawam Raharjo menginvetarisir tiga bentuk pengertian civil society yang kiranya cukup membantu untuk memahami konsep ini. Pertama, civil society adalah suatu masyarakat politik yang punya lembaga-lembaga (misalnya parpol), tatanan hukum, tatanan sipil dan budaya kota. Kedua, civil society merupakan kolektifitas yang berbeda dengan negara. civil society adalah segala tatanan, aturan dan kelembagaan yang terpisah atau berada di luar negara. Artinya, terdapat dikotomi antara negara dan civil society. Ini adalah pengertian yang paling banyak dipakai sekarang. Ketiga, civil society dilihat identik dengan masyarakat borjuis. Pengertian ini muncul karena ada kenyataan bahwa yang membentuk negara itu adalah kaum borjuis.
Civil Society disini adalah arena bagi perbagai gerakan sosial serta organisasi sipil dari semua kelas untuk menyatakan diri dalam sutu himpunan, agar mereka dapat mengekspresikan diri mereka serta memajukan pelbagai kepentingan mereka.
3.    Hubungan Negara – Masyarakat.
Secara konseptual, mengkaji negara tidak dapat dilepaskan dari mengkaji masyarakat, begitu juga sebaliknya. Keduanya selalu dalam keadaan berinteraksi dan saling mempengaruhi. Dalam studi ini, akan digunakan teori stukturasi yang dikembangkan oleh Anthony Giddens untuk menjelaskan relasi negara-masyarakat. Sebetulnya teori Giddens bukan konsep tentang hubungan negara –masyarakat yang lazim dikenal dalam ilmu politik, namun ia memiliki daya penjelas yang sangat berguna. Teori Giddens digunakan karena secara seimbang dan jukstaposisi memposisikan negara dan masyarakat. Selain itu ia memiliki “fleksibelitas” jika dipakai menganalisa relasi negara –masyarakat yang sifatnya kompleks. Prinsip fleksibilitas inilah alas an utama penggunaan teori strukturasi Giddens disini.
Teori strukturasi, yang merupakan konsep epistimologi yang mendasari karya-karya giddens sesudah tahun 1998, adalah masalah yang paling fundamental dan akrab dalam ilmun sosial. Dua komponen penting yang ada dalam teri ini adalah “stuktur” dan “agensi”. Giddens mengartikan “stuktur” sebagai “rule and resources” yang dipakai pada proses produksi dan reproduksi sistem sosial; karakteristik sistem sosial terlembaga yang memiliki sifat-sifat struktural dalam artian bahwa hubungan-hubungan dimantapkan sepanjang waktu dan disembarang ruang. Sementara “agensi” (agency) adalah individu yang perpretator (yang berbuat).
Giddens tidak memandang stuktur dan agency sebagai dua hal yang berbeda karena jika demikian, akan memunculkan dualisme struktur-agensi. Struktur dan agensi harus dipandang sebagai dualitas (duality), dua sisi dari koin yang sama. Keduanya berhubungan secara dialektik, dalam arti struktur dan agensi saling berhubungan dan hal ini saling terus menerus.
Dalam teori ini, posisi negara dapat diartikan sebagai stuktur dan masyarakat sebagai agency. Untuk menghindari ketegangan, Giddens menegaskan perlunya hubungan kemitraan antara keduanya, yang saling memberikan kemudahan dan mengontrol. Artinya, negara dan masyarakat tidak dilihat sebagai dua kutub yang antagonistik, Dengan model ini, negara tidak mendominasi masyarakat, juga sebaliknya. Masing-masing dapat memasuki wilayah lainnya demi kepentingan dan kebaikan keduanya, tanpa ada maksud mendominasi pihak lain. Bila hubungan kemitraan ini bisa terwujud, demokrasi menjadi lebih prospektif uhntuk ditegakkan.
Selain teori strukturasi tersebut adalah teori Relative Deprivation oleh Ted Robert Gurr dalam bukunya Why Men Rebel. Konsep dasar Gurr adalah “perampasan” (deprivation). Perampasan memicu munculnya resistensi. Resistensi terjadi jika orang merasa suatu yang dihargainya, bermanfaat baginya, dirampas. Perasaan terampas inilah yang disebut Gurr sebagai “relative deprivation”. Relative deprivation berarti suatu persepsi perihal kesenjangan antara nilai yang diharapkan (value expectation) dengan kapabilitas untuk meraih nilai (value capabilities) yang diperlukan. Makna lain, relative deprivation adalah gambaran ketimpangan antara yang seharusnya (das sollen) dan yang senyatanya (das sein).
Hubungan Negara – Masyarakat di Era Orde Baru.
Di era debutnya Orde Baru (selanjutnya disebut Orba), yaitu paruh kedua tahun 1960-an, relasi negara dan masyarakat sempat mengalami masa bulan madu. Mayoritas masyarakat baru saja bersama dengan militer, yang lalu mengambil alih kekuasaan negara, menghancurkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Setelah Soekarno tersingkir, kekuasaan beralih ke militer dan Indonesia memasuki rezim Orba. Dilihat dari teori negara pluralis, posisi negara pada awal era Orba tergolong negara responsif. Negara saat itu masih lemah sedangkan posisi rakyat sangat kuat dan menikmati eforia kemenangan dan kebebasan. Tatkala negara berhasil menggalang kekuatan, keadaan berbalik arah, negara menjadi kuat dan masyarakat menjadi lemah (negara independen).
Sepanjang Orba berkuasa, posisi hubungan itu terus bertahan, dan terus menerus membuahkan ketegangan antara negara dan masyarakat. Tapi, posisi negara tetap superior. Posisi tawar masyarakat yang lemah membuat negara sangat leluasa memancapkan dominasi dan hegemoni. Hubungan negara- masyarakat pada era Orba adalah bentuk hubungan yang tidak sejajar (Zero-Sum), dimana dominasi negara adalah ciri utamanaya. Negara adalah gigantisme politik yang sangat perkasa di depan sosok masyarakat yang lemah, bisu, gagap dan selalu tanpa daya.
Negara pada rezim orba mengawasi masyarakat secara estensif dan mencampuri segala macam urusan di seluruh bidang kehidupan. Negara mengatur semua perilaku dan tindakan warga, termasuk mana yang boleh dipikirkan dan mana yang tidak. Lebih dari itu, Negara Orde Baru juga memonopoli proses pembuatan kebijakan.
Dalam teori civil society, pada pemerintahan Orde Baru terjadi dikotomi antara negara dan masyarakat. Menurut Eep Syaifullah Fatah ada empat aspek pokok dalam Negara Orde Baru. Pertama, kekuasaan Negara begitu luas dan begitu menenggelamkan masyarakat. Kedua, militer berperan sangat jauh dalam kerangka represi yang permanen. Ketiga, birokrasi didisfungsikan sehingga menjadi instrument regimentasi. Keempat, meluasnya praktek-praktek ekonomi pragatis yang melaahirkan para pemburu rente melalui korupsi dan kolusi.
Lahirnya Era Transisi
Pilar-pilar politik negara kuat Orba perlahan-lahan melemah dan memburuk. Rentetan peristiwa tahun 1997-1998 membawa Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden pada tanggal 21 Mei 1998. Sesaat sesudah pengumuman itu, kekuasaan beralih kepada B.J. Habibie yang saat itu menjabat wakil presiden. Menurut konstitusi yang berlaku pada saat itu, pasal 8 UUD 1945, apabila presiden berhenti maka yang berhak menggantikan adalah wakil presiden. Pengambilan sumpah jabatan terhadap B.J. Habibie dilakukan di Istana Merdeka oleh Ketua Mahkamah Agung dan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.
Dalam diskursus demokratisasi, fase transisi dimengerti sebagai rentang waktu antara tumbangnya rezim otoritarian dengan ancang-ancang munculnya rezim baru. Di situ berlangsung pergantian dari rezim otoritarian menuju “sesuatu yang lain” yang belum bisa dipastikan. Bisa jadi, fase baru melahirkan rezim baru yang demokratis, tapi tidak mustahil muncul restorasi dan modifikasi bentuk baru rezim otoritarian. Lalu apakah B.J. Habibie fase transisi itu?
1.    Periode B.J. Habibie
Banyak perdebatan serius mengenai fase transisi. Aktivis konfrontatif-radikal menilai pemerintahan B.J. Habibie bukanlah pemerintahan transisi. Sebab Habibie adalag tokoh Orba dan pemerintahannya hanyalah penerus rezim Orba. Pergantian dari Soeharto ke Habibie hanyalah “perubahan tanpa perubahan”. Pendapat lain menyebutkan periode Habibie sebagai fase transisi. Seperti yang dikatakan oleh Emil Salim dan Nurcholis Majid di Forum Keadilan No.5, tahun VII, 15 Juni 1998, bahwa sulit bagi habibie untuk berperan sebagai penerus setia Orba dan berkuasa sampai habis jabatannya (2003) kendati memang aktor Orba. Dengan legitimasi dan kredibilitas yang lemah, ditambah meluasnya semangat antipati terhadap Orba, pilihan yang paling realistis bagi Habibie ialah memainkan perannya sebagai pemerintahan transisional.
Tapi kiranya, kita bisa menerima pemerintahan Habibie sebagai tonggak formal dimulainya era transisi di Indonesia. Periode Habibie ini sebagai pemerintahan transisi juga konsisten dengan definisi dalam studi demokratisasi bahwa fase transisi dimulai manakala si pemimpin otoritarian telah tumbang dan digantikan seorang pemimpin baru, yang dapat saja adalah tokoh oposan yang menjatuhkannya atau merupakan “pemain lama” dari rezim yang sama.
2.    Periode Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Naiknya Abdurrahman Wahid (selanjutnya disebut Gus Dur) di parlemen dalam pemilihan presiden dan wakil presiden pada Sidang Umum MPR bulan Oktober 1999 terjadi pertarungan politik yang demikian seru dan menegangkan. Pertarungan ini diwarnai rivalitas dan polarisasi politik yang tajam antara faksi-faksi politik formal di parlemen. Konstitusi dalam pemilu 1999 menggariskan bahwa presiden dan wakil presiden dipilih MPR lewat suara terbanyak. Beberapa partai Islam dalam parlemen, yaitu PPP, PKB, PK dan PAN membangun aliansi berjuluk Poros Tengah. Dalam manuvernya poros tengah mengangkat Gus Dur sebagai calon presiden Indonesia. Sementara Habibie mundur dari pencalonannya menyusul voting pendapat anggota MPR menolak pertanggungjawabannya. Ini berarti pertarungan mengrucut antara Megawati Soekarno Puteri dan Gus Dur. Lewat sebuah voting, Gus Dur mengalahkan Megawati dengan perbandingan suara 373 : 313.
Secara umum, masyarakat menyambut baik dan menaruh ekpresi serta optimisme yang besar atas terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden. Nilai rupiah menguat hingga Rp. 6.700 per dollar AS dan indeks harga saham gabungan (IHSG) melejir menembus batas psikologis 700. dan memberikan angin segar bagi pemulihan ekonomi.
Pada perjalanan pemerintahan Gus Dur, banyak kritikan dan diprotes oleh masyarakat. Setidaknya ada tiga hal yang mengundang kritik dan protes masyarakat. Pertama, menyangkut kebiasaannya melontarkan pernyataan kontroversial. Gus Dur pernah mengatakan 3 menteri yang terlibat KKN, sehingga meresahkan meresahkan anggota kabinet. Tercatat selam menjabat sebagi presiden, Gus Dur mengeluarkan pernyataan kontroversial sebanyak 37 pernyataan. Kedua, Kebiasaan mencopot para pembantunya. Sepanjang satu tahun menjabat sebagai presiden, Gus Dur memberhentikan 16 menteri, baik dengan pemecatan, dorongan untuk mundur maupun reshuffle. Ketiga, Menyangkut kebiasaan presiden keluar negeri.Tidak kurang 36 negara di empat benua yang sudah dikunjungi. Konsolidasi ke luar negeri yang dilakukan Gus Dur menjadi modal untuk memulihkan ekonomi Indonesia dengan berbagai negara yang dikunjungi melakukan investasi modal di Indonesia. Namun hari-hari berikutnya, strategi politik ke luar negeri ala Gus Dur mengundang kritik karena tak ada follow up perbaikan dalam negeri.
Atas dasar hasil Pansus Bulog yang menyelidiki keterlibatan Gus Dur dalam Kasus Bulog Gade. Akhirnya DPR mengeluarkaan Memorandum I pada tanggal 1 Februari 2001 kepada Gus Dur. Dari memorandum I ini, mayoritas anggota DPR tidak puas dengan jawaban Gus Dur. Melalui sidang paripurna pada tanggal 30 April 2001, DPR mengeluarkan Memorandum II. Setelah memorandum II ini banyak terjadi konflik di internal pemerintahan Gus Dur, salah satunya adalah pemecatan Susilo Bambang Yudhoyono sebagi menteri Polsoskam digantikan Agum Gumelar.
Tanggal 24 Juli 2001 Sidang Istimewa MPR berlangsung, dan Gus Dur resmi meninggalkan posisinya sebagai presiden. Megawati naik menggantikannya sebagai Presiden kelima dibantu Hamzah Has yang terpilih sebagai Wakil Presiden.
Dalam proses penjatuhan Gus Dur sebagai Presiden, penulis menggunakan “teori Konspirasi”. Jatuhnya Gus Dur disebabkan oleh konspirasi yang dilakukan oleh sisa-sisa kekuatan status quo Orba yang tersisihkan dan terancam oleh langkah-langkah Gus Dur. Selain itu pertarungan elite politik yang diarasa kecewa terhadap Gus Dur dengan sikap arogan dan kontroversial.
Selain teori konspirasi diatas, teori Relative Deprivation oleh Ted Robert Gurr cukup relevan dalam menganalisa proses penjatuhan Gus Dur. Salah satu penyebab lengsernya Gus Dur diatas adalah dicopotnya beberapa menteri. Konsep dasar Gurr adalah “perampasan” (deprivation). Perampasan memicu munculnya resistensi. Jadi, beberapa menteri yang telah dicopot merupakan perwakilan dari beberapa partai politik dan fraksi –fraksi. Sehingga perampasan alat politik (menteri) ini, menimbulkan resistensi konflik dalam pemerintahan Gus Dur. Melalui wakil partai di kursi legislatif, partai politik melakukan tekanan dan manufer politik dengan Memorandum I dan II hingga terwujudnya pelengseran Gus Dur lewat Sidang Istimewa.
Penutup
Demikianlah telah kami paparkan dinamika politik pada era transisi di Indonesia berlangsung pesat dengan ditandai oleh perubahan yang cukup fantastis dalam kehidupan politik. Meskipun pencapaian dua periode pemerintahan (Habibie dan Gus Dur) belum memuaskan, jika dilihat dari agenda reformasi, harus diakui bahwa hasil-hasil itu telah meletakkan dasar yang cukup signifikan dalam penegakan demokrasi di Indonesia. Pada kadar yang paling minimal, dua pemerintahan tersebut telah membiarkan dan memfasilitasi berlangsungnya liberalisasi politik dan instalasi demokrasi di Indonesia yang memungkinkan kehidupan politik menjadi relatif demokratis. Ini artinya dua pemerintahan itu, demokrasi tidak mati. wassalam
Daftar Pustaka
A. Tony Prasetiantono, “Paradigma Baru Ekonomi Indonesia” dalam St. Sularto (ed), Menyelamatkan Masa Depan Indonesia, Evaluasi 100 Hari Pemerintahan Gus Dur, Jakarta: Kompas, 2000.
Budiman, Arief, Teori Negara: Negara, Kekuasaan Dan Ideology, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998.
Cohen, Ira. J., Stukturation Teory Anthony Giddens and The Konstitution Sosial Life, London: MacMilan Eduacation, 1989.
Eep Saefullah Fatah, Menuntaskan Perubahan I: Catatan Politik 1998-1999, Bandung:Mizan, 2000.
Giddens, Anthony, Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial, alih bahasa Ketut Arya Mahardika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999.
_______________, The Constutution Of Society: Teori Stukturasi Untuk Analisis Sosial, alih bahasa Adi Loka Sujono, Pasuruan, Penerbit Pedati, 2004.
Guillermo O’Donnel dan Philippe C. Schmitter, Transisi Menuju Demokrasi: Rangkaian Kemungkinan dan ketidakpastian, alih bahasa Nurul Agustina, Jakarta: LP3ES, 1998.
I. Wibowo, Negara dan Masyarakat: Berkaca dari Pengalaman Republik Cina, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Manan, Munafrizal, Gerakan Rakyat Melawan Elite, Yogyakarta, Resist Book, 2005.
Muhammad AS. Hikam, Demokrasi dan Civil society, Jakarta: LP3ES, 1996.
___________________, Islam, Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil society, Jakarta: Erlangga, 2000.
Rauf, Maswadi, “Civil Sosiety sebagai akar bagi demokratisasi di Indonesia” dalam M Deden Ridwan dan Dewi Nurjulianti (peny), Pembangunan Masyarakat Madani Dan Tantangan Demokratisasi Di Indonesia. Sebuah laporan Penelitian, Jakarta: LSAF & The Asia Foundation, 1999.
Saidi, Zaim, Secangkir Kopi Max Havelaar: LSM dan Kebangkitan masyarakat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1994.
Uhlin, Anders, Oposisi Berserak, Arus deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, alih bahasa Rofik Suhud, Bandung: Mizan, 1998.
Surat Kabar
Kompas, 20 Oktober 1999.
Forum Keadilan No.5, tahun VII, 15 Juni 1998


0 komentar:

Posting Komentar