Tanggal 21 Mei 1998 boleh jadi adalah hari paling
bersejarah dalam jejak politik Indonesia kontemporer. Saat itu, Soeharto
menyatakan berhenti sebagai presiden RI, setelah 32 tahun lebih menjadi orang
nomor satu di negeri ini. Peristiwa dramatis itu diawali munculnya tekanan
massa mahasiswa dalam gerakan reformasi berskala nasional. Pada saat yang sama
dukungan dari banyak pihak termasuk di dalam lingkaran kekuasaannya sendiri
menyusut terhadap legitimasi kekuasaan bapak Orde Baru tersebut.
Jatuhnya Soeharto adalah tonggak baru bagi sejarah
Indonesia. Banyak pihak yang memaknainya sebagai titik awal era transisi
Indonesia. Di era transisi ini, tumbuh harapan baru masyarakat tentang
kehidupan yang lebih baik. Untuk mewujudkannya, sebagaimana dialami negara-negara
di kawasan Amerika Latin, Eropa Timur, dan Asia-Indonesia harus dapat melewati
proses transisi menuju demokrasi itu. Sebab, transisi menuju demokrasi, seperti
dijelaskan O’Donnel dan Schmitter, selalu penuh ketidakpastian, sama sekali
tidak linear dan rasional. Sehingga banyak sekali ketidakpastian soal kemampuan
melewati masa ini.
Masa transisi adalah lahan subur
sekaligus tantangan bagi para peminat studi politik Indonesia. Era ini adalah
momen tepat untuk merumuskan teori perpolitikan Indonesia Mutakhir atau untuk
menguji teori-teori sebelumnya. Salah satu topik mendasar transisi adalah
tentang hubungan negara-masyarakat. Sebagai kekuatan besar yang menentukan
capaian transisi ini, negara dan masyarakat adalah dua variable penting yang
tidak dapat diabaikan.
Masyarakat adalah faktor yang
penting. Demokratisasi acapkali adalah hasil penguatan dan dinamika masyarakat vis
– a-vis negara. Begitu pula negara, sebagai lembaga dengan otoritas besar
dan dapat menerapkan kekerasan atas masyarakat –seperti dikemukakan Max Weber –
maka negara adalah faktor penting yang harus pula dicermati. Keduanya adalah
variable bebas (independent variable) sekaligus parameter (dependent
variable) keberhasilan transisi.
Disinilah letak pentingnya analisis
tentang hubungan negara –masyarakat di era transisi. Dalam diskursus politik,
kajian tentang hubungan negara-masyarakat memiliki kedudukan penting bagi
kajian tentang transisi demokrasi. Menurut Alfred Stepan, studi tentang
hubungan negara-masyarakat merupakan “one of the central concerns of the
discripline of political science”. Topik ini adalah salah satu sub kajian
dalam ilmu politik yang umurnya sudah amat tua. Ada yang bilang bahwa kajian
hubungan negara – masyarakat adalah isu abadi dalam teori politik.
Dalam masalah ini, sedikit ada tiga pertanyaan perlu
diajukan. Pertama, bagaimana dinamika dan posisi negara dan masyarakat
di era transisi di Indonesia? Kedua, Bagaimana bentuk relasi negara dan
masyarakat di masa ini. Dan ketiga, Bagaiman implikasi pola hubungan
tersebut bagi prospek demokrasi terkonsolidasi di Indonesia? Untuk keperluan
inilah makalah ini kami tulis.
Kerangka Teori
Beberapa kerangka teoretis bisa bermanfaat disini.
Mulai dari teori negara, teori civil Society, teori relative
deprivation dari Ted Robert Gurr, Teori stukturasi dari Anthony Giddens dan
teori konspirasi. teori negara dan teori civil society perlu disajikan,
karena unit analisis penulis adalah negara dan masyarakat. Teori relative
deprivation akan penulis gunakan untuk menjelaskan mengapa terjadi
gelombang resistensi masyarakat terhadap egara dan teori strukturalis dan teori
konspirasi akan menjadi alternatif alat analisis.
1.
Negara
Ada banyak teori tentang negara yang
beredar dalam kahasanah sosial dan politik. Namun tidak semuanya relevan untuk
menjelaskan watak negara di era transisi Indonesia. Kondisi obyektif negara di
era transisi Indonesia tidak dijelaskan hanya dengan merujuk pada salah satu
teori negara saja. Ada bagian-bagian tertentu dalam kartakter ini yang bisa menunjukkan
berlakunya salah satu teori. Tapi bagian-bagian lain dari dinamika relasi
negara-masyarakat tidak terjelaskan oleh teori yang sama.
Namun kiranya kita bisa mencoba
menggunakan secara eklektik dan komplementer dua teori negara yang menjadi
acuan disini, yaitu teori negara pluralis dan teori Negara yang dikemukakan
Eric A. Nordlinger. Teori ini relatif relevan untuk menjelaskan dinamika dan
posisi negara pada era transisi Indonesia dan dua teori ini diambil konsep
tertentu padanya yang relevan untuk keperluan analisis masalah ini.
Dalam teori negara pluralis terdapat
dua postulat penting. Pertama, negara merupakan institusi yang tidak
mandiri, kedua negara hanya merupakan alat yang netral dari kekuatan-kekuatan
sosial yang ada di masyarakat untuk menduduki kekuasaan. Kedua, Setiap
kekuatan di masyarakat saling berlomba untuk memegang kekuasaan lembaga negara,
karenanya negara merupakan salah satu sumber konflik. Menurut Arief Budiman,
teori negara pluralis sangat menekankan sistem politik yang terbuka dan
demokratis, dan memungkinkan kelompok-kelompok sosial bersaing menduduki
negara. Prosedur politik untuk mewujudkan semua hal ini adalah pemilu.
Mekanisme pemilu berkala dan demokratis selain membuka persaingan antar semua
kelompok dalam mengusai institusi negara, juga mencegah termanifestasinya
anarkisme dalam berkompetisi dan berkonflik menguasai negara.
Karakter negara bisa diketahui
dengan melihat bagaimana derajat otonomi (state autonomy) serta dukungan
masyarakat terhadap negara (societed support for the state) tersebut.
Apakah tinggi, moderat atau malah rendah. Dari sini Nordlinger menggolongkan
empat tipe negara, yakni negara kuat (stong state), negara independen (independent
state), negara responsif (responsive state) dan negara lemah
(weak state).
Negara kuat adalah negara yang
tingkat otonomi dan dukungan masyarakat tinggi. Negara bertindak berdasar
preferensinya dan masyarakat selalu mendukung tindakan-tindakan itu. Negara
independen yaitu negara yang tingkat otonominya tinggi namun dukungan masyarakat
rendah. Negara responsif adalah negara yang derajat otonominya rendah tapi
dukungan masyarakatnya tinggi. Sedangkan negara lemah ialah negara yang derajat
otonomi dan dukungan masyarakatnya rendah.
2.
Masyarakat
Konsep masyarakat sering berada
dibawah disiplin sosiologi. Sosiologi sendiri dimengerti sebagai ilmu tentang
kehidupan masyarakat. Menurut definisi sosiologi, masyarakat merujuk kumpulan
dua orang atau lebih yang hidup bersama dalam waktu yang cukup lama dan mereka
sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan dalam suatu sistem hidup bersama.
Dalam politik, masyarakat sering dipahami secara lebih spesifik., yaitu apa
yang disebut civil society.
Dalam tradisi Eropa sampai abad 18,
makna civil society dianggap sama dengan pengertian negara. Hobbes dan
Locke misalnya, mengartikan civil society sebagai tahapan evolusi dari natural
society, sehingga civil society sama dengan negara. Hobbes
melihatnya sebagai peredam konflik anatar individu dalam masyarakat supaya
tidak saling menghancurkan. Sementara Locke bertolak dari paham kebebasan
individu dan jaminan hak milik pribadi. Pada paruh abad 18, maknanya mulai
bergeser, serta dibedakan dari negara. Langkah ini terutama dipelopori oleh
filsuf Skotlandia, khususnya oleh Adam Ferguson dan sejumlah pemikir Eropa
seperti Johan Forster, Tom Hodgkins, Emanuel Sieyes dan Tom Paine. Ferguson
memaknai civil society sebagai suatu masyarakat yang terdiri dari
lembaga-lembaga otonom yang cukup kuat mengimbani kekuasaan negara, sehingga
terhindar dari dominasi dan deportisme negara. Adapun perubahan rumusan tentang
civil society ini didorong oleh perkembangan teori civil society
dan perubahan-perubagan konteks dimana teori-teori ini dikembangkan.
Dawam Raharjo menginvetarisir tiga
bentuk pengertian civil society yang kiranya cukup membantu untuk
memahami konsep ini. Pertama, civil society adalah suatu
masyarakat politik yang punya lembaga-lembaga (misalnya parpol), tatanan hukum,
tatanan sipil dan budaya kota. Kedua, civil society merupakan
kolektifitas yang berbeda dengan negara. civil society adalah segala
tatanan, aturan dan kelembagaan yang terpisah atau berada di luar negara.
Artinya, terdapat dikotomi antara negara dan civil society. Ini adalah
pengertian yang paling banyak dipakai sekarang. Ketiga, civil society
dilihat identik dengan masyarakat borjuis. Pengertian ini muncul karena ada
kenyataan bahwa yang membentuk negara itu adalah kaum borjuis.
Civil Society disini
adalah arena bagi perbagai gerakan sosial serta organisasi sipil dari semua
kelas untuk menyatakan diri dalam sutu himpunan, agar mereka dapat
mengekspresikan diri mereka serta memajukan pelbagai kepentingan mereka.
3.
Hubungan Negara – Masyarakat.
Secara konseptual, mengkaji negara
tidak dapat dilepaskan dari mengkaji masyarakat, begitu juga sebaliknya.
Keduanya selalu dalam keadaan berinteraksi dan saling mempengaruhi. Dalam studi
ini, akan digunakan teori stukturasi yang dikembangkan oleh Anthony Giddens
untuk menjelaskan relasi negara-masyarakat. Sebetulnya teori Giddens bukan
konsep tentang hubungan negara –masyarakat yang lazim dikenal dalam ilmu
politik, namun ia memiliki daya penjelas yang sangat berguna. Teori Giddens
digunakan karena secara seimbang dan jukstaposisi memposisikan negara dan
masyarakat. Selain itu ia memiliki “fleksibelitas” jika dipakai menganalisa
relasi negara –masyarakat yang sifatnya kompleks. Prinsip fleksibilitas inilah
alas an utama penggunaan teori strukturasi Giddens disini.
Teori strukturasi, yang merupakan konsep epistimologi
yang mendasari karya-karya giddens sesudah tahun 1998, adalah masalah yang
paling fundamental dan akrab dalam ilmun sosial. Dua komponen penting yang ada
dalam teri ini adalah “stuktur” dan “agensi”. Giddens mengartikan “stuktur”
sebagai “rule and resources” yang dipakai pada proses produksi dan
reproduksi sistem sosial; karakteristik sistem sosial terlembaga yang memiliki
sifat-sifat struktural dalam artian bahwa hubungan-hubungan dimantapkan
sepanjang waktu dan disembarang ruang. Sementara “agensi” (agency)
adalah individu yang perpretator (yang berbuat).
Giddens tidak memandang stuktur dan agency sebagai dua
hal yang berbeda karena jika demikian, akan memunculkan dualisme
struktur-agensi. Struktur dan agensi harus dipandang sebagai dualitas (duality),
dua sisi dari koin yang sama. Keduanya berhubungan secara dialektik, dalam
arti struktur dan agensi saling berhubungan dan hal ini saling terus menerus.
Dalam teori ini, posisi negara dapat diartikan sebagai
stuktur dan masyarakat sebagai agency. Untuk menghindari ketegangan, Giddens
menegaskan perlunya hubungan kemitraan antara keduanya, yang saling memberikan
kemudahan dan mengontrol. Artinya, negara dan masyarakat tidak dilihat sebagai
dua kutub yang antagonistik, Dengan model ini, negara tidak mendominasi
masyarakat, juga sebaliknya. Masing-masing dapat memasuki wilayah lainnya demi
kepentingan dan kebaikan keduanya, tanpa ada maksud mendominasi pihak lain.
Bila hubungan kemitraan ini bisa terwujud, demokrasi menjadi lebih prospektif
uhntuk ditegakkan.
Selain teori strukturasi tersebut adalah teori Relative
Deprivation oleh Ted Robert Gurr dalam bukunya Why Men Rebel. Konsep
dasar Gurr adalah “perampasan” (deprivation). Perampasan memicu
munculnya resistensi. Resistensi terjadi jika orang merasa suatu yang
dihargainya, bermanfaat baginya, dirampas. Perasaan terampas inilah yang
disebut Gurr sebagai “relative deprivation”. Relative deprivation berarti
suatu persepsi perihal kesenjangan antara nilai yang diharapkan (value
expectation) dengan kapabilitas untuk meraih nilai (value capabilities)
yang diperlukan. Makna lain, relative deprivation adalah gambaran
ketimpangan antara yang seharusnya (das sollen) dan yang senyatanya (das
sein).
Hubungan Negara – Masyarakat di Era Orde Baru.
Di era debutnya Orde Baru (selanjutnya disebut Orba),
yaitu paruh kedua tahun 1960-an, relasi negara dan masyarakat sempat mengalami
masa bulan madu. Mayoritas masyarakat baru saja bersama dengan militer, yang
lalu mengambil alih kekuasaan negara, menghancurkan Partai Komunis Indonesia
(PKI). Setelah Soekarno tersingkir, kekuasaan beralih ke militer dan Indonesia
memasuki rezim Orba. Dilihat dari teori negara pluralis, posisi negara pada
awal era Orba tergolong negara responsif. Negara saat itu masih lemah sedangkan
posisi rakyat sangat kuat dan menikmati eforia kemenangan dan kebebasan.
Tatkala negara berhasil menggalang kekuatan, keadaan berbalik arah, negara
menjadi kuat dan masyarakat menjadi lemah (negara independen).
Sepanjang Orba berkuasa, posisi hubungan itu terus
bertahan, dan terus menerus membuahkan ketegangan antara negara dan masyarakat.
Tapi, posisi negara tetap superior. Posisi tawar masyarakat yang lemah membuat
negara sangat leluasa memancapkan dominasi dan hegemoni. Hubungan negara-
masyarakat pada era Orba adalah bentuk hubungan yang tidak sejajar (Zero-Sum),
dimana dominasi negara adalah ciri utamanaya. Negara adalah gigantisme
politik yang sangat perkasa di depan sosok masyarakat yang lemah, bisu, gagap
dan selalu tanpa daya.
Negara pada rezim orba mengawasi masyarakat secara
estensif dan mencampuri segala macam urusan di seluruh bidang kehidupan. Negara
mengatur semua perilaku dan tindakan warga, termasuk mana yang boleh dipikirkan
dan mana yang tidak. Lebih dari itu, Negara Orde Baru juga memonopoli proses pembuatan
kebijakan.
Dalam teori civil society, pada
pemerintahan Orde Baru terjadi dikotomi antara negara dan masyarakat.
Menurut Eep Syaifullah Fatah ada empat aspek pokok dalam Negara Orde Baru. Pertama,
kekuasaan Negara begitu luas dan begitu menenggelamkan masyarakat. Kedua,
militer berperan sangat jauh dalam kerangka represi yang permanen. Ketiga,
birokrasi didisfungsikan sehingga menjadi instrument regimentasi. Keempat,
meluasnya praktek-praktek ekonomi pragatis yang melaahirkan para pemburu rente
melalui korupsi dan kolusi.
Lahirnya Era Transisi
Pilar-pilar politik negara kuat Orba perlahan-lahan
melemah dan memburuk. Rentetan peristiwa tahun 1997-1998 membawa Soeharto
mengundurkan diri sebagai presiden pada tanggal 21 Mei 1998. Sesaat sesudah
pengumuman itu, kekuasaan beralih kepada B.J. Habibie yang saat itu menjabat
wakil presiden. Menurut konstitusi yang berlaku pada saat itu, pasal 8 UUD
1945, apabila presiden berhenti maka yang berhak menggantikan adalah wakil
presiden. Pengambilan sumpah jabatan terhadap B.J. Habibie dilakukan di Istana
Merdeka oleh Ketua Mahkamah Agung dan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.
Dalam diskursus demokratisasi, fase transisi
dimengerti sebagai rentang waktu antara tumbangnya rezim otoritarian dengan
ancang-ancang munculnya rezim baru. Di situ berlangsung pergantian dari rezim
otoritarian menuju “sesuatu yang lain” yang belum bisa dipastikan. Bisa jadi,
fase baru melahirkan rezim baru yang demokratis, tapi tidak mustahil muncul
restorasi dan modifikasi bentuk baru rezim otoritarian. Lalu apakah B.J.
Habibie fase transisi itu?
1.
Periode B.J. Habibie
Banyak perdebatan serius mengenai
fase transisi. Aktivis konfrontatif-radikal menilai pemerintahan B.J. Habibie
bukanlah pemerintahan transisi. Sebab Habibie adalag tokoh Orba dan
pemerintahannya hanyalah penerus rezim Orba. Pergantian dari Soeharto ke Habibie
hanyalah “perubahan tanpa perubahan”. Pendapat lain menyebutkan periode Habibie
sebagai fase transisi. Seperti yang dikatakan oleh Emil Salim dan Nurcholis
Majid di Forum Keadilan No.5, tahun VII, 15 Juni 1998, bahwa sulit bagi habibie
untuk berperan sebagai penerus setia Orba dan berkuasa sampai habis jabatannya
(2003) kendati memang aktor Orba. Dengan legitimasi dan kredibilitas yang
lemah, ditambah meluasnya semangat antipati terhadap Orba, pilihan yang paling
realistis bagi Habibie ialah memainkan perannya sebagai pemerintahan
transisional.
Tapi kiranya, kita bisa menerima
pemerintahan Habibie sebagai tonggak formal dimulainya era transisi di
Indonesia. Periode Habibie ini sebagai pemerintahan transisi juga konsisten
dengan definisi dalam studi demokratisasi bahwa fase transisi dimulai manakala
si pemimpin otoritarian telah tumbang dan digantikan seorang pemimpin baru,
yang dapat saja adalah tokoh oposan yang menjatuhkannya atau merupakan “pemain
lama” dari rezim yang sama.
2.
Periode Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Naiknya Abdurrahman Wahid
(selanjutnya disebut Gus Dur) di parlemen dalam pemilihan presiden dan wakil
presiden pada Sidang Umum MPR bulan Oktober 1999 terjadi pertarungan politik
yang demikian seru dan menegangkan. Pertarungan ini diwarnai rivalitas dan
polarisasi politik yang tajam antara faksi-faksi politik formal di parlemen.
Konstitusi dalam pemilu 1999 menggariskan bahwa presiden dan wakil presiden
dipilih MPR lewat suara terbanyak. Beberapa partai Islam dalam parlemen, yaitu
PPP, PKB, PK dan PAN membangun aliansi berjuluk Poros Tengah. Dalam manuvernya
poros tengah mengangkat Gus Dur sebagai calon presiden Indonesia. Sementara
Habibie mundur dari pencalonannya menyusul voting pendapat anggota MPR menolak
pertanggungjawabannya. Ini berarti pertarungan mengrucut antara Megawati
Soekarno Puteri dan Gus Dur. Lewat sebuah voting, Gus Dur mengalahkan Megawati
dengan perbandingan suara 373 : 313.
Secara umum, masyarakat menyambut
baik dan menaruh ekpresi serta optimisme yang besar atas terpilihnya Gus Dur
sebagai Presiden. Nilai rupiah menguat hingga Rp. 6.700 per dollar AS dan
indeks harga saham gabungan (IHSG) melejir menembus batas psikologis 700. dan
memberikan angin segar bagi pemulihan ekonomi.
Pada perjalanan pemerintahan Gus
Dur, banyak kritikan dan diprotes oleh masyarakat. Setidaknya ada tiga hal yang
mengundang kritik dan protes masyarakat. Pertama, menyangkut
kebiasaannya melontarkan pernyataan kontroversial. Gus Dur pernah mengatakan 3
menteri yang terlibat KKN, sehingga meresahkan meresahkan anggota kabinet.
Tercatat selam menjabat sebagi presiden, Gus Dur mengeluarkan pernyataan
kontroversial sebanyak 37 pernyataan. Kedua, Kebiasaan mencopot para
pembantunya. Sepanjang satu tahun menjabat sebagai presiden, Gus Dur
memberhentikan 16 menteri, baik dengan pemecatan, dorongan untuk mundur maupun reshuffle.
Ketiga, Menyangkut kebiasaan presiden keluar negeri.Tidak kurang 36
negara di empat benua yang sudah dikunjungi. Konsolidasi ke luar negeri yang
dilakukan Gus Dur menjadi modal untuk memulihkan ekonomi Indonesia dengan
berbagai negara yang dikunjungi melakukan investasi modal di Indonesia. Namun
hari-hari berikutnya, strategi politik ke luar negeri ala Gus Dur mengundang
kritik karena tak ada follow up perbaikan dalam negeri.
Atas dasar hasil Pansus Bulog yang
menyelidiki keterlibatan Gus Dur dalam Kasus Bulog Gade. Akhirnya DPR
mengeluarkaan Memorandum I pada tanggal 1 Februari 2001 kepada Gus Dur. Dari
memorandum I ini, mayoritas anggota DPR tidak puas dengan jawaban Gus Dur.
Melalui sidang paripurna pada tanggal 30 April 2001, DPR mengeluarkan
Memorandum II. Setelah memorandum II ini banyak terjadi konflik di internal
pemerintahan Gus Dur, salah satunya adalah pemecatan Susilo Bambang Yudhoyono
sebagi menteri Polsoskam digantikan Agum Gumelar.
Tanggal 24 Juli 2001 Sidang Istimewa
MPR berlangsung, dan Gus Dur resmi meninggalkan posisinya sebagai presiden.
Megawati naik menggantikannya sebagai Presiden kelima dibantu Hamzah Has yang
terpilih sebagai Wakil Presiden.
Dalam proses penjatuhan Gus Dur
sebagai Presiden, penulis menggunakan “teori Konspirasi”. Jatuhnya Gus Dur
disebabkan oleh konspirasi yang dilakukan oleh sisa-sisa kekuatan status quo
Orba yang tersisihkan dan terancam oleh langkah-langkah Gus Dur. Selain itu
pertarungan elite politik yang diarasa kecewa terhadap Gus Dur dengan sikap
arogan dan kontroversial.
Selain teori konspirasi diatas,
teori Relative Deprivation oleh Ted Robert Gurr cukup relevan
dalam menganalisa proses penjatuhan Gus Dur. Salah satu penyebab
lengsernya Gus Dur diatas adalah dicopotnya beberapa menteri. Konsep dasar Gurr
adalah “perampasan” (deprivation). Perampasan memicu munculnya
resistensi. Jadi, beberapa menteri yang telah dicopot merupakan perwakilan dari
beberapa partai politik dan fraksi –fraksi. Sehingga perampasan alat politik
(menteri) ini, menimbulkan resistensi konflik dalam pemerintahan Gus Dur.
Melalui wakil partai di kursi legislatif, partai politik melakukan tekanan dan
manufer politik dengan Memorandum I dan II hingga terwujudnya pelengseran Gus
Dur lewat Sidang Istimewa.
Penutup
Demikianlah telah kami paparkan dinamika politik pada
era transisi di Indonesia berlangsung pesat dengan ditandai oleh perubahan yang
cukup fantastis dalam kehidupan politik. Meskipun pencapaian dua periode
pemerintahan (Habibie dan Gus Dur) belum memuaskan, jika dilihat dari agenda
reformasi, harus diakui bahwa hasil-hasil itu telah meletakkan dasar yang cukup
signifikan dalam penegakan demokrasi di Indonesia. Pada kadar yang paling
minimal, dua pemerintahan tersebut telah membiarkan dan memfasilitasi
berlangsungnya liberalisasi politik dan instalasi demokrasi di Indonesia yang
memungkinkan kehidupan politik menjadi relatif demokratis. Ini artinya dua
pemerintahan itu, demokrasi tidak mati. wassalam
Daftar Pustaka
A. Tony
Prasetiantono, “Paradigma Baru Ekonomi Indonesia” dalam St. Sularto
(ed), Menyelamatkan Masa Depan Indonesia, Evaluasi 100 Hari Pemerintahan Gus
Dur, Jakarta: Kompas, 2000.
Budiman,
Arief, Teori Negara: Negara, Kekuasaan Dan Ideology, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1998.
Cohen, Ira.
J., Stukturation Teory Anthony Giddens and The Konstitution Sosial Life, London:
MacMilan Eduacation, 1989.
Eep
Saefullah Fatah, Menuntaskan Perubahan I: Catatan Politik 1998-1999, Bandung:Mizan,
2000.
Giddens,
Anthony, Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial, alih bahasa Ketut Arya
Mahardika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999.
_______________,
The Constutution Of Society: Teori Stukturasi Untuk Analisis Sosial,
alih bahasa Adi Loka Sujono, Pasuruan, Penerbit Pedati, 2004.
Guillermo
O’Donnel dan Philippe C. Schmitter, Transisi Menuju Demokrasi: Rangkaian
Kemungkinan dan ketidakpastian, alih bahasa Nurul Agustina, Jakarta: LP3ES,
1998.
I. Wibowo, Negara
dan Masyarakat: Berkaca dari Pengalaman Republik Cina, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2000.
Manan,
Munafrizal, Gerakan Rakyat Melawan Elite, Yogyakarta, Resist Book, 2005.
Muhammad AS.
Hikam, Demokrasi dan Civil society, Jakarta: LP3ES, 1996.
___________________,
Islam, Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil society, Jakarta: Erlangga,
2000.
Rauf,
Maswadi, “Civil Sosiety sebagai akar bagi demokratisasi di Indonesia”
dalam M Deden Ridwan dan Dewi Nurjulianti (peny), Pembangunan Masyarakat
Madani Dan Tantangan Demokratisasi Di Indonesia. Sebuah laporan Penelitian,
Jakarta: LSAF & The Asia Foundation, 1999.
Saidi, Zaim,
Secangkir Kopi Max Havelaar: LSM dan Kebangkitan masyarakat, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Soekanto,
Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta:Raja Grafindo Persada,
1994.
Uhlin,
Anders, Oposisi Berserak, Arus deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di
Indonesia, alih bahasa Rofik Suhud, Bandung: Mizan, 1998.
Surat Kabar
Kompas, 20
Oktober 1999.
Forum
Keadilan No.5, tahun VII, 15 Juni 1998
0 komentar:
Posting Komentar